Selasa, 19 November 2013

Membaca Kembali Dakwah Walisanga



BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa kontak masyarakat Indonesia dengan agama Islam telah terjadi sejak abad VII M. Di Pulau jawa, peralihan kekuasaan politik dari Hindu kepada Islam ditandai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit dan dimulainya kesultanan Demak. Sejak saat itu Islam telah berkuasa di Jawa secara de facto.
Pada saat itu masyarakat jawa adalah masyarakat yang selalu patuh dan taat pada raja, yang dalam masalah agama terlihat dalam ungkapan: Tumraping wong tanah jawi, agama ageming aji ( bagi orang jawa, agama di anut sesuai dengan agama raja). Kemudian munculah walisanga yang menyebarluaskan Islam di Jawa dengan dakwah lewat jalur kebudayaan dan politik sosial.  Bukti-bukti sejarah peninggalan-peninggalan mereka menunjukan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar yang pernah ada dan dihormati oleh masyarakat hingga sekarang .
            Istilah walisanga sering diartikan sebagai kumpulan para wali yang berjumlah sembilan orang dengan perincian yang berbeda-beda mengenai kesembilan nama tersebut.[1] Padahal sebenarnya istilah walisanga merupakan transformasi dari kata walisana yang berarti wali  yang mulia, berkuasa, dan mengepalai suatu wilayah tertentu, baik saling berhubungan maupun tidak. Para wali biasanya adalah tokoh yang menjadi cikal bakal yang membuka wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa, mereka mendapat perkenan dan restu dari raja setempat untuk menjadi kepala daerah tersebut, sehingga mereka kemudian juga masuk dalam lingkungan  elit politik sebagai sentana kerajaan. Para wali berdakwah dengan pendekatan kultural dan politik kekuasaan. Melalui 2 jalur tersebut  tersebarlah Islam di Jawa.


B.     Pokok Masalah
1.      Sejauh mana perubahan yang telah dihasilkan oleh para wali dalam mengislamkan masyarakat  Jawa?
2.      Bagaimana model dakwah yang telah diterapkan oleh walisanga serta implikasinya terhadap transformasi sosial yang berlangsung?
C.    Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai perubahan yang telah dihasilkan oleh para wali dalam mengislamkan masyarakat jawa, dan menjelaskan model dakwah walisanga serta implikasinya terhadap transformasi sosial yang berlangsung.  Di samping itu, pembahasan ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Dakwah semester V.





















BAB II
Pembahasan
A.    Dakwah dan Budaya
Islam masuk dan berkembang di Jawa secara alami dan damai tanpa ada proses revolutif / peperangan. Hal ini tidak lepas dari peran walisanga yang berdakwah dengan kebijaksanaannya, selain dengan kesaktian-kesaktian dan kekuatan magis yang masih cukup populer di kalangan masyarakat primitif jawa pada saat itu. Diantara metode dakwah yang digunakan oleh para wali lewat jalur kebudayaan adalah sebagai berikut :
1.      Memanfaatkan perangkat pendekatan psikologis untuk mempengaruhi masyarakat. Dengan kesaktian sensasioanal para wali, public ditarik perhatiannya, kemudian ditumbuhkan anggapan tentang pentingnya segala hal yang datang dari para wali. Masyarakat digiring dan diperintah tanpa banyak tanya sehingga mereka dapat dikendalikan dan diarahkan pada           kondisi yang diinginkan. Dengan strategi dakwah yang demikian, penggunaan symbol, idiom, dan tradisi yang hidup dan mengakar kuat dalam masyarakat menjadi sesuatu yang niscaya. Hal itulah yang menjadi sumber kekuatan dan efektifitas transformasi sosial yang dijalankan.
2.      Kompromi-kompromi kultural  dalam berdakwah, sehingga Islam menjadi bagian dari budaya lokal, dalam hal ini budaya Jawa.
3.      Mengislamkan budaya lokal yang secara de facto  masih hidup dan menyatu dalam jiwa masyarakat Jawa tanpa mematikan kehidupannya sebagai tradisi yang masih kuat dipegangi.
Dunia pewayangan bisa dijadikan sebagai contoh konkrit metode penyebaran islam oleh walisanga dengan jalur kebudayaan. Kisah wayang yang berasal dari India dengan aroma hindu telah diislamkan oleh trio wali jaget tinelon yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Bonang, dengan sumber cerita utamanya tetap epos besar Hindu-India, Arjuna Wiwaha, Mahabarata, dan Ramayana.[2] Para wali berdakwah dengan cara mengislamkan tokoh-tokoh punakwan dan membuat cerita pewayangan tersebut bernuansa islami. Bahkan yang lebih ekstrim lagi dikembangkan pandangan bahwa Puntadewa, tokoh tertua Pandawa sudah memeluk agama Arab. Nampaknya perpaduan Jawa-Arab seperti ini tidak hanya sebatas wacana teoritis, tetapi sudah menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat jawa.
B.     Dakwah dan Politik
Dalam pandangan Jawa, keraton bisa dikatakan sebagai replica kosmis yang sekaligus sebagai pusat mistik dan pusat dunia.  Masyarakat jawa sangat tunduk pada keraton  sebagai pusat spiritualis magis. Tidak layak bagi seorang jawa untuk tidak mengikuti irama di pusat keraton demi menjaga harmoni tata kosmis. Keunggulan, kharisma, dan kedudukan seseorang  ditentukan oleh kekuatan magis yang dimilikinya. Dalam beragama, masyarakat cenderung mengikuti  pikiran dan pandangan orang-orang yang dianggap lebih, dalam hal ini adalah raja.
Berangkat dari pandangan tersebut, walisanga menyadari pentingnya kekuasaan politik bagi keberlangsungan dakawah, sehingga tidak heran jika mereka banyak terlibat dalam percaturan politik. Kebanyakan para wali adalah panglima perang, penasehat raja, atau penguasa itu sendiri. Tedapat beberapa contoh konkrit mengenai pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah walisanga, diantaranya adalah :
1.      Pendirian masjid Demak oleh para wali sebagai pusat dakwah mereka. Namun pengelolaan masjid tersebut tetap berada di bawah sultan yang bertahta.
2.      Diadakannya lembaga dakwah yang beranggotakan para wali dan dipimpin langsung oleh sultan.
3.      Proses pengadilan syekh Siti Jenar yang menyampaikan ajaran yang menimbulkan keresahan secara politis dan sesat dalam pandangan agama.  Dalam hal ini yang memanggil tersangka tersebut adalah sultan, sedangkan proses peradilannya dilaksanakan di depan siding walisanga.
Contoh-contoh konkrit di atas menunjukan adanya hubungan timbal balik antara para wali sebagai juru dakwah dengan sultan sebagai penguasa politik. Sultan memerlukan dukungan para wali sebagai sumber legitimasi  demi kepentingan politiknya, dan sebagai imbalanya adalah menyediakan sarana2 dakwah yang dibutuhkan oleh para wali. Sedangkan para wali memanfaatkan  kekuasaan politik sebagai media untuk berdakwah, sehingga mereka masuk dan ikut berperan dalam percaturan  politik.
C.    Islam Jawa
Islam yang berkembang di jawa bisa dikatakan sengat khas dan unik, yakni ketika terjadi penerapan konsep-konsep agama dalam formulasi kultus keraton. Islam yang masuk ke Jawa telah mengalami pengolahan sedemikian rupa sehingga mneyatu dengan Jawa. Pada dataran ini Islam dan jawa tidak dapat dipisahkan. Muncul permasalahan-permasalahan yang disebabkan perbedaan penekanan intensitas “keislaman” atau “kejawaannya”, yang akhirnya muncul pandangan  bahwa fenomena keagamaan seperti itu adalah sebuah penyimpangan. Kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Sehingga nilai-nilai jawa semakin mengkristal sedangkan budaya dari luar hanya menjadi lapisan luar belaka.
Fenomena-fenomena tersebut masih terkait dengan strategi dan metode dakwah yang diterapkan oleh walisanga di awal penyebaran Islam yang memanfaatkan jalur politik dan budaya. Islam yang dibawa oleh para wali tidak diarahkan untuk merubah secara total pandangan jawa mengenai tata kosmis  yang  menjadi pandangan dunia mereka, tetapi lebih ditekankan pada upaya penyisipan-penyisipan  nilai-nilai Islam dalam tata struktur masyarakat Jawa. Para wali tidak berkehendak untuk menghilangkan  atau menempati posisi sentral kekuasaan, tetapi ada kemungkinan untuk menambah, menggeser atau menguranginya.  Misalnya pendirian masjid Demak untuk pust dakwah agar perhatian masyarakat tidak hanya tertuju pada keraton, tapi juga pada agama. Pada tahap-tahap awal islamisasi, strategi dakwah seperti itu dipandang cukup efektif, namun efektifitasnya cenderung menurun pada masa-masa berikutnya. Hal ini disebabkan menurunnya peran politik para wali sebagai akibat dari menguatnya kembali kekuatan politik dengan semakin kukuhnya identitas kejawaannya.
Apabila hal ini dipahami sebagai langkah awal islamisasi, maka tujuan akhir yang mungkin diasumsikan adalah pembelokan orientasi ideologis masyarakat dari keraton dan raja menuju masjid dan ulama sebagai manifestasi Ilahi. Hanya saja tujuan ini belum terwujud , karena dihapusnya peran para wali dalam lembaga penasehat kesultanan dan dibubarkannya lembaga dakwah. Dakwah yang dilakukan para wali dari sudut pandang ini telah terhenti pada tahap pengenalan ide baru (islam) sebagai sebuah pandangan dunia, yang pengelolaanya  dan penyelesaiannya dilakukan oleh “orang lain”. Islam-jawa lahir dan berkembang dari lingkungan keraton dan raja sebagai titik pusat,bukan bertitik pusat pada masjid.  Konsep tersebut menemukan kemapanannya pada saat para wali  mulai tersisih secara politik dan sosial, sehingga akses ke jantung keraton semakin terbatas.  Sebagai akibatnya, konsep islam-jawa lebih berwarna lebih berwarna jawa daripada berwarna islam. Dalam proses islamisasi budaya, ternyata Intensitas kejawen yang sudah menjadi tradisi lebih dominan dari pada intensitas keislaman. Para raja menganggap Islam hanya sebagai wadah normatif yang tidak terlalu penting. Raja keraton kembali menempati posisinya sebagai pusat dunia tanpa “saingan”. Walisanga  kurang berhasil  (untuk tidak mengatakan gagal) membentuk ataupun merubah basis ideologis masyarakat Jawa.
Terlepas dari penilaian kualitatif tersebut, Islam telah menjadi atribut resmi keraton dan masyarakat secara  luas. Dalam hal ini dakwah yg telah dilakukan  oleh walisanga telah berhasil menyusupkan ruh keislaman ke dalam jantung spiritualis masyarakat Jawa, berpadu dengan ideologi yang lebih dahulu mapan, yang kemudian terbangun paradigma spiritual baru ; Islam Jawa.






BAB III
Penutup dan Kesimpulan
Dakwah walisanga pada awal islamisasi Islam di Jawa tidak ada yang melanjutkan.  Pasca walisangan transformasi yg digariskan mengalami kemandegan, karena basis ideologis yang digariskan tidak terlalu kuat untuk menggeser  atapun mewarnai infrastruktur  yg sudah mapan. Hal inilah yg  menjadi penyebab  kegagalan proses dakwah dalam jangka panjang , sehingga Islam pada masa-masa selanjutnya hanya menjadi bagian (artifisial) daribudaya jawa. Titik tekan dakwah kebudayaan adalah perlunya persentuhan langsung dengan realitas dan persoalan serta kebutuhan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, corak keagamaan yang bersifat historis-praksis dan tidak mengenal finalitas.


[1] Mengenai beberapa pengertian walisanga dan nama-nama termasuk di dalamnya, lihat Wiji Saksono, Mangislamkan Tana,h Jawa (Bandung : Mizan, 1995), hlm.18-24.
[2] Ki M A. Machfoed, Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Yayasan an-Nur, 1970), hlm.65-69
Title: Membaca Kembali Dakwah Walisanga; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)