BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Sejarah
mencatat bahwa kontak masyarakat Indonesia dengan agama Islam telah terjadi
sejak abad VII M. Di Pulau jawa, peralihan kekuasaan politik dari Hindu kepada
Islam ditandai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit dan dimulainya kesultanan
Demak. Sejak saat itu Islam telah berkuasa di Jawa secara de facto.
Pada saat itu
masyarakat jawa adalah masyarakat yang selalu patuh dan taat pada raja, yang
dalam masalah agama terlihat dalam ungkapan: Tumraping wong tanah jawi,
agama ageming aji ( bagi orang jawa, agama di anut sesuai dengan agama
raja). Kemudian munculah walisanga yang menyebarluaskan Islam di Jawa dengan dakwah
lewat jalur kebudayaan dan politik sosial.
Bukti-bukti sejarah peninggalan-peninggalan mereka menunjukan bahwa
mereka adalah tokoh-tokoh besar yang pernah ada dan dihormati oleh masyarakat
hingga sekarang .
Istilah
walisanga sering diartikan sebagai kumpulan para wali yang berjumlah sembilan
orang dengan perincian yang berbeda-beda mengenai kesembilan nama tersebut.[1]
Padahal sebenarnya istilah walisanga merupakan transformasi dari kata walisana
yang berarti wali yang mulia, berkuasa,
dan mengepalai suatu wilayah tertentu, baik saling berhubungan maupun tidak.
Para wali biasanya adalah tokoh yang menjadi cikal bakal yang membuka wilayah
kekuasaannya. Sebagai penguasa, mereka mendapat perkenan dan restu dari raja
setempat untuk menjadi kepala daerah tersebut, sehingga mereka kemudian juga
masuk dalam lingkungan elit politik
sebagai sentana kerajaan. Para wali berdakwah dengan pendekatan kultural dan
politik kekuasaan. Melalui 2 jalur tersebut
tersebarlah Islam di Jawa.
B.
Pokok Masalah
1.
Sejauh
mana perubahan yang telah dihasilkan oleh para wali dalam mengislamkan
masyarakat Jawa?
2.
Bagaimana
model dakwah yang telah diterapkan oleh walisanga serta implikasinya terhadap
transformasi sosial yang berlangsung?
C.
Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pembaca
mengenai perubahan yang telah dihasilkan oleh para wali dalam mengislamkan
masyarakat jawa, dan menjelaskan model dakwah walisanga serta implikasinya
terhadap transformasi sosial yang berlangsung.
Di samping itu, pembahasan ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ilmu Dakwah semester V.
BAB II
Pembahasan
A.
Dakwah dan Budaya
Islam masuk dan berkembang di Jawa secara alami dan damai tanpa ada
proses revolutif / peperangan. Hal ini tidak lepas dari peran walisanga yang
berdakwah dengan kebijaksanaannya, selain dengan kesaktian-kesaktian dan
kekuatan magis yang masih cukup populer di kalangan masyarakat primitif jawa
pada saat itu. Diantara metode dakwah yang digunakan oleh para wali lewat jalur
kebudayaan adalah sebagai berikut :
1.
Memanfaatkan
perangkat pendekatan psikologis untuk mempengaruhi masyarakat. Dengan kesaktian
sensasioanal para wali, public ditarik perhatiannya, kemudian ditumbuhkan
anggapan tentang pentingnya segala hal yang datang dari para wali. Masyarakat
digiring dan diperintah tanpa banyak tanya sehingga mereka dapat dikendalikan
dan diarahkan pada kondisi yang
diinginkan. Dengan strategi dakwah yang demikian, penggunaan symbol, idiom, dan
tradisi yang hidup dan mengakar kuat dalam masyarakat menjadi sesuatu yang
niscaya. Hal itulah yang menjadi sumber kekuatan dan efektifitas transformasi
sosial yang dijalankan.
2.
Kompromi-kompromi
kultural dalam berdakwah, sehingga Islam
menjadi bagian dari budaya lokal, dalam hal ini budaya Jawa.
3.
Mengislamkan
budaya lokal yang secara de facto masih
hidup dan menyatu dalam jiwa masyarakat Jawa tanpa mematikan kehidupannya
sebagai tradisi yang masih kuat dipegangi.
Dunia
pewayangan bisa dijadikan sebagai contoh konkrit metode penyebaran islam oleh
walisanga dengan jalur kebudayaan. Kisah wayang yang berasal dari India dengan
aroma hindu telah diislamkan oleh trio wali jaget tinelon yaitu Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Bonang, dengan sumber cerita utamanya tetap epos
besar Hindu-India, Arjuna Wiwaha, Mahabarata, dan Ramayana.[2]
Para wali berdakwah dengan cara mengislamkan tokoh-tokoh punakwan dan membuat
cerita pewayangan tersebut bernuansa islami. Bahkan yang lebih ekstrim lagi
dikembangkan pandangan bahwa Puntadewa, tokoh tertua Pandawa sudah memeluk
agama Arab. Nampaknya perpaduan Jawa-Arab seperti ini tidak hanya sebatas
wacana teoritis, tetapi sudah menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat jawa.
B.
Dakwah dan Politik
Dalam pandangan
Jawa, keraton bisa dikatakan sebagai replica kosmis yang sekaligus sebagai
pusat mistik dan pusat dunia. Masyarakat
jawa sangat tunduk pada keraton sebagai
pusat spiritualis magis. Tidak layak bagi seorang jawa untuk tidak mengikuti
irama di pusat keraton demi menjaga harmoni tata kosmis. Keunggulan, kharisma,
dan kedudukan seseorang ditentukan oleh
kekuatan magis yang dimilikinya. Dalam beragama, masyarakat cenderung
mengikuti pikiran dan pandangan
orang-orang yang dianggap lebih, dalam hal ini adalah raja.
Berangkat dari
pandangan tersebut, walisanga menyadari pentingnya kekuasaan politik bagi
keberlangsungan dakawah, sehingga tidak heran jika mereka banyak terlibat dalam
percaturan politik. Kebanyakan para wali adalah panglima perang, penasehat
raja, atau penguasa itu sendiri. Tedapat beberapa contoh konkrit mengenai
pemanfaatan jalur kekuasaan dalam dakwah walisanga, diantaranya adalah :
1.
Pendirian
masjid Demak oleh para wali sebagai pusat dakwah mereka. Namun pengelolaan
masjid tersebut tetap berada di bawah sultan yang bertahta.
2.
Diadakannya
lembaga dakwah yang beranggotakan para wali dan dipimpin langsung oleh sultan.
3.
Proses
pengadilan syekh Siti Jenar yang menyampaikan ajaran yang menimbulkan keresahan
secara politis dan sesat dalam pandangan agama.
Dalam hal ini yang memanggil tersangka tersebut adalah sultan, sedangkan
proses peradilannya dilaksanakan di depan siding walisanga.
Contoh-contoh
konkrit di atas menunjukan adanya hubungan timbal balik antara para wali
sebagai juru dakwah dengan sultan sebagai penguasa politik. Sultan memerlukan
dukungan para wali sebagai sumber legitimasi
demi kepentingan politiknya, dan sebagai imbalanya adalah menyediakan
sarana2 dakwah yang dibutuhkan oleh para wali. Sedangkan para wali
memanfaatkan kekuasaan politik sebagai
media untuk berdakwah, sehingga mereka masuk dan ikut berperan dalam percaturan
politik.
C.
Islam Jawa
Islam yang
berkembang di jawa bisa dikatakan sengat khas dan unik, yakni ketika terjadi
penerapan konsep-konsep agama dalam formulasi kultus keraton. Islam yang masuk
ke Jawa telah mengalami pengolahan sedemikian rupa sehingga mneyatu dengan
Jawa. Pada dataran ini Islam dan jawa tidak dapat dipisahkan. Muncul
permasalahan-permasalahan yang disebabkan perbedaan penekanan intensitas
“keislaman” atau “kejawaannya”, yang akhirnya muncul pandangan bahwa fenomena keagamaan seperti itu adalah sebuah
penyimpangan. Kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk
membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan dari luar dan
dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Sehingga nilai-nilai jawa semakin
mengkristal sedangkan budaya dari luar hanya menjadi lapisan luar belaka.
Fenomena-fenomena
tersebut masih terkait dengan strategi dan metode dakwah yang diterapkan oleh
walisanga di awal penyebaran Islam yang memanfaatkan jalur politik dan budaya.
Islam yang dibawa oleh para wali tidak diarahkan untuk merubah secara total
pandangan jawa mengenai tata kosmis
yang menjadi pandangan dunia
mereka, tetapi lebih ditekankan pada upaya penyisipan-penyisipan nilai-nilai Islam dalam tata struktur
masyarakat Jawa. Para wali tidak berkehendak untuk menghilangkan atau menempati posisi sentral kekuasaan,
tetapi ada kemungkinan untuk menambah, menggeser atau menguranginya. Misalnya pendirian masjid Demak untuk pust
dakwah agar perhatian masyarakat tidak hanya tertuju pada keraton, tapi juga
pada agama. Pada tahap-tahap awal islamisasi, strategi dakwah seperti itu
dipandang cukup efektif, namun efektifitasnya cenderung menurun pada masa-masa
berikutnya. Hal ini disebabkan menurunnya peran politik para wali sebagai
akibat dari menguatnya kembali kekuatan politik dengan semakin kukuhnya
identitas kejawaannya.
Apabila hal ini
dipahami sebagai langkah awal islamisasi, maka tujuan akhir yang mungkin
diasumsikan adalah pembelokan orientasi ideologis masyarakat dari keraton dan
raja menuju masjid dan ulama sebagai manifestasi Ilahi. Hanya saja tujuan ini
belum terwujud , karena dihapusnya peran para wali dalam lembaga penasehat
kesultanan dan dibubarkannya lembaga dakwah. Dakwah yang dilakukan para wali
dari sudut pandang ini telah terhenti pada tahap pengenalan ide baru (islam)
sebagai sebuah pandangan dunia, yang pengelolaanya dan penyelesaiannya dilakukan oleh “orang
lain”. Islam-jawa
lahir dan berkembang dari lingkungan keraton dan raja sebagai titik pusat,bukan
bertitik pusat pada masjid. Konsep
tersebut menemukan kemapanannya pada saat para wali mulai tersisih secara politik dan sosial,
sehingga akses ke jantung keraton semakin terbatas. Sebagai akibatnya, konsep islam-jawa lebih
berwarna lebih berwarna jawa daripada berwarna islam. Dalam proses islamisasi
budaya, ternyata Intensitas kejawen yang sudah menjadi tradisi lebih dominan
dari pada intensitas keislaman. Para raja menganggap Islam hanya sebagai wadah
normatif yang tidak terlalu penting. Raja keraton kembali menempati posisinya
sebagai pusat dunia tanpa “saingan”. Walisanga
kurang berhasil (untuk tidak
mengatakan gagal) membentuk ataupun merubah basis ideologis masyarakat Jawa.
Terlepas dari
penilaian kualitatif tersebut, Islam telah menjadi atribut resmi keraton dan
masyarakat secara luas. Dalam hal ini
dakwah yg telah dilakukan oleh walisanga
telah berhasil menyusupkan ruh keislaman ke dalam jantung spiritualis
masyarakat Jawa, berpadu dengan ideologi yang lebih dahulu mapan, yang kemudian
terbangun paradigma spiritual baru ; Islam Jawa.
BAB III
Penutup dan Kesimpulan
Dakwah walisanga
pada awal islamisasi Islam di Jawa tidak ada yang melanjutkan. Pasca walisangan transformasi yg digariskan
mengalami kemandegan, karena basis ideologis yang digariskan tidak terlalu kuat
untuk menggeser atapun mewarnai
infrastruktur yg sudah mapan. Hal inilah
yg menjadi penyebab kegagalan proses dakwah dalam jangka panjang
, sehingga Islam pada masa-masa selanjutnya hanya menjadi bagian (artifisial) daribudaya
jawa. Titik tekan dakwah kebudayaan adalah perlunya persentuhan langsung dengan
realitas dan persoalan serta kebutuhan masyarakat dalam arti yang
seluas-luasnya, corak keagamaan yang bersifat historis-praksis dan tidak
mengenal finalitas.
[1]
Mengenai beberapa pengertian walisanga dan nama-nama termasuk di dalamnya,
lihat Wiji Saksono, Mangislamkan Tana,h Jawa (Bandung : Mizan, 1995),
hlm.18-24.
[2]
Ki M A. Machfoed, Sunan Kalijaga (Yogyakarta : Yayasan an-Nur, 1970),
hlm.65-69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)