Selasa, 12 November 2013

Bukan Dirinya, Tapi Hatinya



                Tidak hanya sekedar “Beautifull”, tapi “Pretty.” Zahra perempuan 25 tahun ini tidak hanya sekedar cantik, tapi dia mempunyai hampir semua yang ingin dimiliki oleh kaum hawa. Hampir semua orang yang melihat Zahra akan mengatakan “dia cantik yaa…” kepada teman di sampingya, atau hanya di hati saja. Sebuah pujian alami yang reflek akan keluar dari hati orang yang melihatnya. Matanya bulat, hitam, kelopak mata yang proporsional, dibingkai dengan kedua alis “naggal sepisan” seperti kata orang jawa. Tatapanya teduh memancarkan keanggunan, membuat orang nyaman melihatnya, tetapi juga tajam memancarkan kewibawaan. Wajah putih dan pipi yang kemerah-merahan, bibir yang merah tipis, di atasnya ada hidung yang tidak terlalu mancung, tapi sama sekali tidak pesek. Semuanya itu dibingkai dengan selembar jilbab warna agak gelap, membuat warna kulitnya terlihat semakin cerah. Cantik sekali. Hanya satu kekurangan yang tidak ia sukai, tapi kebanyakan laki-laki justru menyukai kekurangan itu, Zahra gadis berkacamata.

            Kecantikan gadis ini tidak hanya terpancar dari kulitnya saja, tapi juga terpancar dari hatinya. Tidak hanya wajahnya saja yang cantik, tapi akhlaknya pun lebih cantik lagi. Intelektualitas yang tinggi, tutur kata yang santun, sosok yang penyayang, dan kelembutan hatinya membuat Zahra menjadi dosen yang diidolakan oleh para mahasiswinya, terlebih lagi para mahasiswanya.
            Ada satu lagi kelebihan Zahra, dia tidak menganggap kelebihan yang ia miliki itu sebagai kelebihan, tapi ia anggap sebagai titipan, yang bisa diubah, diambil, dan diganti oleh pemiliknya. Sikap seperti itulah yang membuat Zahra memilih calon teman hidup yang sederhana, bahkan terlalu sederhana jika dibandingkan dengan dirinya. Sebulan yang lalu, Fatih, seorang pelayan di sebuah kedai buku memberanikan diri untuk melamar gadis cantik putri guru besar salah satu Universitas ternama di Jogja itu. Fatih menyadari kekurangan yang ia miliki, tapi itu tidak membuatbya minder dan menjadikannya pengecut. Dia bukan dari keluarga terhormat seperti keluarga Zahra, orang tuanya hanya penjual nasi goreng, sehingga mereka hanya sanggup menyekolahkan Fatih sampai tingkat SMA. Fatih pun bukan pemuda yang tampan, tapi gaya berpakaian yang rapi membuat Fatih terlihat berwibawa. Terlebih lagi Fatih memiliki pemahaman agama yang tinggi, sosok yang sopan dan santun, lembut, dan menjaga kehormatan. Itulah faktor X yang dimilikinya, sehingga gadis sebaik Zahra mau menerima lamarannya.
            Sempat Ibunda Zahra tidak setuju jika anak gadisnya itu akan menikah dengan seorang pemuda yang belum tentu bisa menjamin kebutuhan materi untuk keluarga. Kedua kakak Zahra pun setengah hati memberikan izin kepada Zahra.
“Nduk.. apa kamu yakin menikah dengan nak Fatih,,? masih banyak lho pemuda yang lebih mapan, lebih ganteng, dan lebih baik dari dia yang mau sama kamu..” bujuk Ibundanya , ia berharap Zahra mau mngubah keputusannya.
“Zahra tidak ingin mengubah keputusan Zahra buk, pekerjaan, harta, dan fisik tidak menjadi prioritas utama buat Zahra, yang penting Fatih sanggup menjadi suami yang soleh, bertanggung jawab, setia, dan bisa memimpin keluarga. Kalo masalah biaya rumah tangga kan Zahra juga bisa bantu, Zahra kan juga punya pekerjaan bu..” Zahra meyakinkan Ibundanya dengan bijak.
“Ya sudah kalo itu keputusanmu nduk, ibu sih cuma mengingatkan saja supaya kamu tidak menyesal nantinya.. Ibundanya memberikan wejangan untuk Zahra dengan ketus.
“Iya bu… InsyaAllah Zahra tidak akan menyesal dengan pilihan Zahra...”
            Tidak kalah dengan Ibundanya, kakak2 dan saudara Zahra pun tidak mendukung Zahra dan Fatih. Mereka lebih banyak meragukan Fatih. Hal itu bisa dibilang lumrah, karena keluarga Zahra adalah keluarga terhormat berdarah biru. Bahkan diantara mereka ada yang kekeuh mencarikan jodoh yang sebanding untuk Zahra ketika ia sudah dalam pinangan Fatih.
“Bukanya kakak itu mau mengatur hidup kamu dek… tapi kakak Cuma ingin melihat kamu nanti hidup bhagia dan kecukupan kayak kakak ini lho..,kamu tau to hidup kakak itu enak, kecukupan, ndak susah..” Kak  Rian mencoba menasehati Zahra.
            Begitu juga dengan kakak-kakak Zahra yang lain, saudara-saudara, tetangga, bahkan sahabat-sahabat Zahra juga menyarankan Zahra untuk mencari pendamping hidup selain Fatih. Tapi Zahra tetap pada pendirianya. Fatih memang bukan lelaki idaman wanita-wanita yang lainya. Tetapi karena kemuliaan akhlaq dan hatinya, dia menjadi istimewa di mata Zahra.
            Tepat sebulan setelah lamaran, akhirnya Zahra dan Fatih melangsungkan pernikahan. Mereka manjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan, cinta, dan kasih sayang. Mereka tak pernah menghiraukan ejekan, celaan, atau omongan-omongan orang lain. Yang ada hanya rumah tangga sederhana yang bahagia, penuh berkah, dan penuh ketentraman.
            Namun roda kehidupan tak pernah berhenti berputar. Siang itu Zahra mengendarai motor sendiri ke kampus untuk mengajar. Kebetulan saat itu Fatih tidak mengantarnya karena ada kesibukan di kedai buku. Nasib yang malang menimpa Zahra. Zahra hendak membeli bensin di SPBU yang letaknya di seberang jalan. Otomatis dia harus menyebrang jalan raya. Tepat di tengah-tengah saat Zahra memotong jalan, bus Pariwisata “Wisata Indah” melaju dengan kencang. Tanpa ampun bus itu menabrak Zahra. Lalu lintas jalanan saat itu sangat ramai, sehingga supir bus tidak melihat Zahra yang sedang menyebrang. Zahra tertabrak dan terlempar ke sisi jalan sebelah kiri. Tragisnya, mobil Carry hijau ternyata sedang berjalan lambat, Zahra terlempar tepat di depan mobil itu. Sopir mobil  terkejut, bukanya menginjak rem, tetapi dia justru menginjak gas. Dengan kecepatan  tinggi, ban mobil itu menindas kaki dan tangan kanan Zahra. Zahra tak sadarkan diri, dari kepala, tangan dan kakinya mengucur darah yang sangat banyak. Tidak lama kemudian, Zahra sudah berada di atas ranjang putih, lengkap dengan semua alat medis yang terpasang di hidung, lengan, kepala, dan kaki.
            Keluarga Zahra, terlebih Fatih, kaget bukan kepalang  mendengar kabar naas yang menimpa Zahra. Dokter tak mampu menyelamatkan kaki dan tangan Zahra yang patah di beberapa bagian, akhirnya kaki dan tangan kanan Zahra terpaksa di amputasi. Muka Zahra yang tadinya bak bidadari, sekarang sudah tidak ada lagi, yang ada hanya muka yang penuh luka dan Jahitan. Tak cantik lagi. Zahra yang semula menjadi wanita yang hampir mendekati sempurna, sekarang menjadi wanita yang penuh dengan kekurangan.
            Perubahan yang begitu drastis yang menimpa Zahra membuat ia down. Zahra tidak suka dijenguk teman, saudara, dan orang lain. Ia merasa malu, dan khawatir jika mereka justru akan mengejek dan mencemoohnya. Zahra tak banyak berbicara, kalimat yang sering ia ucapkan kepada orang disekelilingnya justru “ Aku sedang ingin sendiri,,,”. Perasaan zahra tak karuan, dia takut suami yang sangat ia cintai tidak bisa menerima keadaanya sekarang. Zahra merasa dia tidak ada gunanya lagi, hanya akan merepotkan dan menjadi bebab bagi suami. Zahra takut suaminya akan meninggalkannya.
            Tapi ketakutan Zahra itu tidak menjadi kenyataan. Orang-orang yang semula meragukan Fatih, sekarang mereka baru menyadari kelebihan yang Fatih miliki. Dengan sabar, penuh kasih sayang, dan penuh perhatian, Fatih merawat Zahra. Ia selalu menguatkan hati Zahra yang sempat hancur. Tak ada sedikitpun rasa kecewa dan malu dalam diri Fatih memiliki istri yang penuh dengan kekurangan. Saat ini, Fatihlah yang menjadi kaki Zahra ketika ia ingin berjalan, Fatihlah yang menjadi tangan Zahra ketika ia ingin mengambil sesuatu, Fatihlah yang mejadi mata Zahra ketika ia ingin melihat sesuatu dengan jelas. Ya, benturan keras yang mengenai kepala Zahra membuat pengelihatan Zahra menjadi terganggu. Fatihlah yang akan menemani si malang Zahra hingga berpuluh-puluh tahun kedepan.
            Di balik musibah yang mnyedihkan, selalu ada hikmah yang tersimpan. Keluarga, saudara, dan sahabat-sahabat Zahra akhirnya menyadari bahwa keputusan Zahra memilih Fatih adalah keputusan yang baik.
“Maafkan Ibu nak, dulu Ibu tidak yakin Fatih bisa menjadi suami yang membahagiakan kamu, tapi setelah kejadian ini, Ibu sadar, Fatih adalah suami yang luar biasa, yang tidak mudah ditemukan…kamu tidak salah memilih Fatih menjadi suamimu.” Ibunda Zahra memeluk anaknya sambil meneteskan air mata, begitu juga kakak-kakak Zahra.
Dengan tersenyum ia menjawab
“Zahra tidak memilih Fatih bu, tapi Zahra memilih hatinya…”
***
Title: Bukan Dirinya, Tapi Hatinya; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

2 komentar:

  1. The whole content is up to the potential car without any relevant items and also revealing technique it's supplied. I might be looking to a lot more these sort of articles and reviews since these are really value the wait.

    BalasHapus
  2. The whole content is up to the potential car without any relevant items and also revealing technique it's supplied. I might be looking to a lot more these sort of articles and reviews since these are really value the wait.

    BalasHapus

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)