Sabtu, 04 Mei 2013

Dilema Katinon, antara asas legalitas dan aspek kemashlahatan



Kemashlahatan yang menyelimuti kehidupan manusia merupakan buah dari perlakuan yang adil terhadap hukum Islam. Ketika manusia menyadari posisinya sebagai hamba Allah dan mematuhi aturan hukum Allah, niscaya kemashlahatan diantara mereka akan terwujud. Sebaliknya, ketika manusia merasa sombong dan enggan untuk tunduk terhadap hukum Allah, sejatinya mereka sedang mengukir kesengsaraan dan kerusakan untuk dirinya sendiri dan orang lain. Sebab, tujuan utama Allah menciptakan hukum adalah untuk merealisasikan kemashlahatan diantara manusia, bukan untuk membebani dan menyengsarakan manusia. Bagi orang yang memahami agama, dia akan menyadari bahwa hukum Islam yang kadang terasa berat untuk dijalankan, ternyata mempunyai tujuan yang besar pula. Kemashlahatan bukanlah hal instan yang bisa dirasakan oleh semua manusia dengan mudah, akan tetapi manusia perlu beristiqamah mematuhi hukum islam untuk  mewujudkan kemashlahatan.

            Allah yang maha bijaksana mencipatakan hukum bukanlah untuk menyengsarakan dan membebani manusia. Orang yang beranggapan bahwa hukum Allah itu hanya membebani hamba-Nya, berarti ia telah salah menilai terhadap Allah. Mustahil Allah mencipatakan hukum untuk menyengsarakan hambanya, justru Allah mencipatakan hukum adalah untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat. Hukum syar’i diciptakan dalam rangka menjaga keseimbangan hidup manusia dengan segala unsurnya, baik untuk menjaga agama, jiwa, aqal, keturunan, maupun harta. Oleh karena fungsi inilah kita mengenal istilah “maqasidus-syari’ah”. Menurut Abdul Wahab Khalaf , ditetapkannya aturan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didalam hidupnya, yang prinsipnya adalah menarik manfaat dan menolak kemadlaratan.
            Dalam ilmu hukum kenegaraan, kita mengetahui bahwa hukum positif bertujuan untuk memelihara dan menjaga stabilitas nasional. Tidak salah jika dikatakan bahwa hukum syar’i juga bertujuan untuk menjaga dan memelihara keseimbangan hidup manusia. Namun  tidak benar jika lantas kita memandang sama antara hukum positif dan hukum syar’i. Dilihat dari sudut pandang pembuat hukumnya, tentu jelas sekali perbedaan antara keduannya. Tidak mungkin apa yang diciptakan oleh Allah itu sama dengan apa yang diciptakan oleh manusia. Tentu apa yang diciptakan oleh Allah itu sempurna dan apa yang diciptakan oleh manusia itu kurang sempurna. Sehingga, kadar kemashlahatan dari hukum positif pun juga berbeda dengan kadar kemashlahatan dari hukum Islam.
            Bagi beberapa gelintir orang, narkotika adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan. Bagaimana tidak, mengkonsumsi beberapa jenis narkotika itu memberikan manfaat, diantaranya bisa membantu mengurangi beban fikiran, menimbulkan rasa gembira, menghangatkan badan, serta meningkatkan gairah seksual. Tetapi Allah dengan tegas membuat pernyataan final bahwa narkotika adalah barang haram, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Maidah, 5: 90:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
            Narkotika memang memiliki beberapa manfaat, lalu mngkinkah Allah mengharamkan sesuatu yang bermanfaat begitu saja tanpa alasan? Tentu tidak. Allah mengharamkan barang-barang yang haram pasti mempunyai alasan, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kemashlahatan manusia. Kita semua telah membenarkan penelitian para ahli kimia bahwasannya narkotika itu selain mempunyai manfaat juga menimbulkan kerusakan bagi manusia. Narkotika adalah obat terlarang yang merusak organ tubuh manusia sedikit demi sedikit, merusak syaraf, dan merusak akal. Dari sinilah kita mengetahui bahwa apa yang telah dipaparkan diatas mengandung kebenaran. Hukum islam menyatakan bahwa narkotika itu haram, tujuannya untuk menjaga akal manusia agar tidak rusak karenanya.
            Hukum positif juga memberikan sanksi bagi para pengkonsumsi narkotika. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Narkotika mengatur tentang hal itu. Namun tetap saja masih ada kekurangan dan ketidaksempurnaan hukum tersebut. Jika kita menyeret sebuah kasus yang menjerat seorang figur masyarakat, yaitu Raffi Ahmad, maka akan terlihat kekurangan hukum positif itu. Pada penggerbekan tanggal 27 Januari,  ada sedikit kejanggalan yaitu mengenai zat narkoba jenis baru yang bernama Katinon (Cathinone) yang di konsumsi oleh Raffi Cs, dikarenakan belum di atur oleh Undang - Undang Narkotika di Indonesia. Para ahli hukum positif mempermasalahkan tentang zat katinon yang dikonsumsi olehnya. Sempat Rafi dianggap tidak bersalah karena zat katinon tersebut belum ada dalam undang-undang.  Dan menurut asas legalitas, sangsi hukum tidak berlaku sebelum ada pasal hukum yang mengaturnya. Dengan dalih itu, maka katinon dianggap tidak termasuk narkotika dan pemakai zat katinon tidak dianggap bersala,h.
            Jika kasus tersebut dibawa kepada hukum Islam, sudah tentu sangat jelas sekali bahwa katinon adalah barang yang haram dikonsumsi. Sehingga orang yang mengkonsumsi katinon dianggap bersalah dan dikenakan hukuman. Hal itu karena ada nash yang menyatakan keharaman khamr (barang yang memabukan) secara mutlak, dimana katinon ini termasuk barang yang memabukkan. Allah tidak menyebut kata narkotika dalam ayat tersebut, tetapi Allah menyebut benda tersebut dengan الخَمْر (al-khamr) dengan arti yang mutlak. Sehingga semua barang  yang bisa memabukan hukumnya adalah haram. Qiyas juga berlaku dalam masalah ini, tidak ada nash yang menyebutkan secara dhahir bahwa katinon itu haram. Akan tetapi katinon diqiyaskan dengan khamr karena kesamaan illat pada keduanya. Diantaranya adalah sama-sama punya efek halusinasi, menimbulkan rasa gembira, meningkatkan tekanan darah, menghangatkan tubuh, kewaspadaan, dan meningkatkan gairah seks, diikuti dengan depresi, mudah terganggu, anoreksi, dan kesulitan tidur. Sifat zat tersebut stimulant, karena itu zat tersebut akan mempengaruhi syaraf pusat pemakainya. Sehingga akan mengubah cara perilaku dan cara pikir seseorang, seperti menimbulkan euforia kesenangan yang berlebih dan peningkatan stamina secara tinggi. Atas dasar itulah maka menurtu Islam, katinon adalah zat yang haram dikonsumsi.
            Nilai mashlahat dan madharat harus dipertimbangkan secara tepat. Jika  Indonesia tidak menyatakan katinon sebagai zat terlarang, maka tentu akan timbul kemadharatan-kemadharatan yang bisa merusak bangsa dan Negara. Para pemasok obat-obatan terlarang akan menjadikan Indonesia sebagai ladang perniagaan katinon karena aman dari jeratan hukum. Para pecandu narkotika juga tidak perlu khawatir mengkonsumsinya karena tidak ada undang-undang yang mengancamnya.  Alhasil, tujuan hukum positif yaitu menjaga stabilitas nasional tidak akan terwujud, karena dengan membebaskan konsumsi katinon, berarti memberikan jalan untuk merusak akal bangsa, khususnya para remaja. Allah jelas telah mengharamkan katinon demi mewujudkan kemashlahatan manusia, yaitu untuk menjaga akal manusia dari kerusakan. Zat turunan katinon atau katinon derivatif berbahaya bagi tubuh. Pengharaman katinon  berfungsi mencegah dampaknya yang begitu besar bagi perkembangan generasi bangsa.
            Contoh konkrit diatas memberikan bukti yang nyata bahwa dengan hukum islam, Allah mengantarkan umat manusia pada kebaikan jasmani dan rohani, dan menjauhkan manusia dari kesengsaraan, dengan cara menarik kemashlahatan dan menolak kemadharatan.

HukHu



Title: Dilema Katinon, antara asas legalitas dan aspek kemashlahatan; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)