Kemashlahatan yang
menyelimuti kehidupan manusia merupakan buah dari perlakuan yang adil terhadap
hukum Islam. Ketika manusia menyadari posisinya sebagai hamba Allah dan
mematuhi aturan hukum Allah, niscaya kemashlahatan diantara mereka akan
terwujud. Sebaliknya, ketika manusia merasa sombong dan enggan untuk tunduk terhadap
hukum Allah, sejatinya mereka sedang mengukir kesengsaraan dan kerusakan untuk
dirinya sendiri dan orang lain. Sebab, tujuan utama Allah menciptakan hukum
adalah untuk merealisasikan kemashlahatan diantara manusia, bukan untuk
membebani dan menyengsarakan manusia. Bagi orang yang memahami agama, dia akan
menyadari bahwa hukum Islam yang kadang terasa berat untuk dijalankan, ternyata
mempunyai tujuan yang besar pula. Kemashlahatan bukanlah hal instan yang bisa
dirasakan oleh semua manusia dengan mudah, akan tetapi manusia perlu
beristiqamah mematuhi hukum islam untuk
mewujudkan kemashlahatan.
Allah
yang maha bijaksana mencipatakan hukum bukanlah untuk menyengsarakan dan
membebani manusia. Orang yang beranggapan bahwa hukum Allah itu hanya membebani
hamba-Nya, berarti ia telah salah menilai terhadap Allah. Mustahil Allah
mencipatakan hukum untuk menyengsarakan hambanya, justru Allah mencipatakan
hukum adalah untuk kebaikan manusia di dunia maupun di akhirat. Hukum syar’i diciptakan
dalam rangka menjaga keseimbangan hidup manusia dengan segala unsurnya, baik
untuk menjaga agama, jiwa, aqal, keturunan, maupun harta. Oleh karena fungsi
inilah kita mengenal istilah “maqasidus-syari’ah”. Menurut Abdul Wahab
Khalaf , ditetapkannya aturan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia didalam hidupnya, yang prinsipnya adalah menarik manfaat dan menolak
kemadlaratan.
Dalam
ilmu hukum kenegaraan, kita mengetahui bahwa hukum positif bertujuan untuk
memelihara dan menjaga stabilitas nasional. Tidak salah jika dikatakan bahwa
hukum syar’i juga bertujuan untuk menjaga dan memelihara keseimbangan hidup
manusia. Namun tidak benar jika lantas
kita memandang sama antara hukum positif dan hukum syar’i. Dilihat dari sudut
pandang pembuat hukumnya, tentu jelas sekali perbedaan antara keduannya. Tidak
mungkin apa yang diciptakan oleh Allah itu sama dengan apa yang diciptakan oleh
manusia. Tentu apa yang diciptakan oleh Allah itu sempurna dan apa yang
diciptakan oleh manusia itu kurang sempurna. Sehingga, kadar kemashlahatan dari
hukum positif pun juga berbeda dengan kadar kemashlahatan dari hukum Islam.
Bagi
beberapa gelintir orang, narkotika adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan.
Bagaimana tidak, mengkonsumsi beberapa jenis narkotika itu memberikan manfaat,
diantaranya bisa membantu mengurangi beban fikiran, menimbulkan rasa gembira, menghangatkan badan, serta meningkatkan gairah
seksual. Tetapi Allah dengan tegas membuat pernyataan final bahwa narkotika
adalah barang haram, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Maidah, 5: 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Narkotika
memang memiliki beberapa manfaat, lalu mngkinkah Allah mengharamkan sesuatu
yang bermanfaat begitu saja tanpa alasan? Tentu tidak. Allah mengharamkan
barang-barang yang haram pasti mempunyai alasan, tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk kemashlahatan manusia. Kita semua telah membenarkan penelitian
para ahli kimia bahwasannya narkotika itu selain mempunyai manfaat juga
menimbulkan kerusakan bagi manusia. Narkotika adalah obat terlarang yang
merusak organ tubuh manusia sedikit demi sedikit, merusak syaraf, dan merusak
akal. Dari sinilah kita mengetahui bahwa apa yang telah dipaparkan diatas
mengandung kebenaran. Hukum islam menyatakan bahwa narkotika itu haram,
tujuannya untuk menjaga akal manusia agar tidak rusak karenanya.
Hukum
positif juga memberikan sanksi bagi para pengkonsumsi narkotika. Beberapa pasal
dalam Undang-Undang Narkotika mengatur tentang hal itu. Namun tetap saja masih
ada kekurangan dan ketidaksempurnaan hukum tersebut. Jika kita menyeret sebuah
kasus yang menjerat seorang figur masyarakat, yaitu Raffi Ahmad, maka akan
terlihat kekurangan hukum positif itu. Pada
penggerbekan tanggal 27 Januari, ada sedikit kejanggalan yaitu mengenai
zat narkoba jenis baru yang bernama Katinon (Cathinone) yang di konsumsi oleh
Raffi Cs, dikarenakan belum di atur oleh Undang - Undang Narkotika di
Indonesia. Para ahli hukum positif mempermasalahkan tentang zat
katinon yang dikonsumsi olehnya. Sempat Rafi dianggap tidak bersalah karena zat
katinon tersebut belum ada dalam undang-undang.
Dan menurut asas legalitas, sangsi hukum tidak berlaku sebelum ada pasal
hukum yang mengaturnya. Dengan dalih itu, maka katinon dianggap tidak termasuk
narkotika dan pemakai zat katinon tidak dianggap bersala,h.
Jika
kasus tersebut dibawa kepada hukum Islam, sudah tentu sangat jelas sekali bahwa
katinon adalah barang yang haram dikonsumsi. Sehingga orang yang mengkonsumsi
katinon dianggap bersalah dan dikenakan hukuman. Hal itu karena ada nash
yang menyatakan keharaman khamr (barang yang memabukan) secara mutlak,
dimana katinon ini termasuk barang yang memabukkan. Allah tidak menyebut kata
narkotika dalam ayat tersebut, tetapi Allah menyebut benda tersebut dengan الخَمْر (al-khamr)
dengan arti yang mutlak. Sehingga semua barang yang
bisa memabukan hukumnya adalah haram. Qiyas juga berlaku
dalam masalah ini, tidak ada nash yang menyebutkan secara dhahir bahwa katinon
itu haram. Akan tetapi katinon diqiyaskan dengan khamr karena kesamaan
illat pada keduanya. Diantaranya adalah sama-sama
punya efek halusinasi, menimbulkan rasa gembira, meningkatkan tekanan darah,
menghangatkan tubuh, kewaspadaan, dan meningkatkan gairah seks, diikuti dengan
depresi, mudah terganggu, anoreksi, dan kesulitan tidur. Sifat zat tersebut stimulant, karena
itu zat tersebut akan mempengaruhi syaraf pusat pemakainya. Sehingga akan
mengubah cara perilaku dan cara pikir seseorang, seperti menimbulkan euforia
kesenangan yang berlebih dan peningkatan stamina secara tinggi. Atas dasar itulah maka menurtu Islam, katinon adalah zat yang haram
dikonsumsi.
Nilai mashlahat
dan madharat harus dipertimbangkan secara tepat. Jika Indonesia tidak menyatakan katinon sebagai
zat terlarang, maka tentu akan timbul kemadharatan-kemadharatan yang bisa
merusak bangsa dan Negara. Para pemasok obat-obatan terlarang akan menjadikan
Indonesia sebagai ladang perniagaan katinon karena aman dari jeratan hukum.
Para pecandu narkotika juga tidak perlu khawatir mengkonsumsinya karena tidak
ada undang-undang yang mengancamnya. Alhasil, tujuan hukum positif yaitu menjaga
stabilitas nasional tidak akan terwujud, karena dengan membebaskan konsumsi
katinon, berarti memberikan jalan untuk merusak akal bangsa, khususnya para
remaja. Allah jelas telah mengharamkan katinon demi mewujudkan kemashlahatan
manusia, yaitu untuk menjaga akal manusia dari kerusakan. Zat turunan katinon atau katinon
derivatif berbahaya bagi tubuh. Pengharaman katinon berfungsi mencegah dampaknya yang begitu besar
bagi perkembangan generasi bangsa.
Contoh
konkrit diatas memberikan bukti yang nyata bahwa dengan hukum islam, Allah
mengantarkan umat manusia pada kebaikan jasmani dan rohani, dan menjauhkan
manusia dari kesengsaraan, dengan cara menarik kemashlahatan dan menolak
kemadharatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)