Ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima.
Berhaji adalah bentuk totalitas makhluk dalam penghambaannya kepada Rabb yang Maha
Agung karena banyaknya persiapan. Mulai
dari waktu, fisik, niat, sampai persiapan materi/dana.
Bentuk kepasrahan akan sisa-sisa hidup yang diberikan Allah. Berpakaian serba
putih yang terlihat tak ada pembeda, tak ada pembatas, antara dia si kaya dan
si miskin dan hanya iman dan taqwa yang bisa membedakannya.
Haji membutuhkan
fisik yang kuat bagi setiap “tentara jihad” yang melaksanakannya, karena haji
tidak hanya dilakukan seperti shalat yang rampung pelaksanaannya dalam beberapa
menit saja namun butuh waktu yang lebih lama.
Haji juga membutuhkan materi yang banyak, karena letaknya yang amat
sangat jauh dan tidak bisa dilalui dengan berjalan bahkan dibutuhkan pesawat
untuk melancarkan transportasinya.
Lalu bagaimanakah
pelaksanaan haji dan filosofi dari
setiap amalan-amalan yang dilakukan
sesuai dengan perintah Allah itu?
Pasti semuanya memiliki rahasia yang melambangkan sesuatu dan memiliki manfaat untuk
pengingat manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus menghamba, beribadah,
berpasrah padaNya.
Haji terdiri dari
amalan-amalan yang banyak, antara lain adalah yang pertama Miqat, thawaf, sa’i,
arafah, masy’ar, dan yang terakhir berada di Mina pada tanggal 10 dzulhijjah.
Dalam rukun-rukun yang sudah disebutkan ini, banyak filosofi yang bisa diambil
dari setiap amalan-amalan ini.
Adapun yang
pertama adalah saat bala tentara
masuk ke Miqat, lalu kenapa para tentara ini harus mengganti pakaiannya dengan
serba putih tanpa jahitan? Bagi laki-laki dilarang memakai penutup kepala dan
bagi wanita dilarang menutup muka. Adapun filosofi dari berpakaian serba putih
ini adalah untuk menghilangkan adanya pemisah dan pembeda diantara makhluk
Allah, dan biarkan Iman menjadi pembeda dan menjadi penguat cinta kepadaNya,
bukan dengan harta dan kehidupan dunia yang membutakan mata hati.
Mereka beriringan
menjadi satu arus yang mengelilingi simbol Tuhan. Symbol tersebut berbentuk
kubus, mengapa? Karena ka’bah tidak punya arah (karena bentuknya seperti kubus)
namun dengan menghadap Ka’bah ketika melakukan shalat maka engkau telah memilih
arah Allah dan menghadap kepadaNya. Ketidakberarahan Ka’bah mungkin terasa
sulit dimengerti. Namun, dengan kondisi seperti itu, berlakulah universalitas
dan kemutlakan bentuk Ka’bah. Untuk bangunan yang bersisi 6 maka struktur yang
sesuai adalah kubus.
Mengapa begitu
sederhana tanpa warna dan ornamen? Karena Allah yang Maha Kuasa tidak memiliki
bentuk, tidak berwarna dan tidak ada yang menyerupaiNya. Tidak ada pola atau
visualisasi Allah yang dapat diimajinasikan oleh manusia. Karena Maha Kuasa dan
Maha Ada ada di mana-mana.
Beriringan
berjalan perlahan mengelilingi simbol Tuhan. Thawaf merupakan contoh dari
sebuah sistem yang berdasarkan pada gagasan tentang monotheisme (ketauhidan)
yang meliputi orientasi partikel (manusia). Allah adalah pusat eksistensi Dia
adalah fokus dari dunia yang sementara ini. sebaliknya, para tentara jihad ini
beriringan mengelilingi Ka’bah dan dengan usaha yang ulet sedikit demi sedikit
berjalan mendekati. Ini adalah lambang bahwa manusia perlu dekat dengan
Tuhannya. Saat berjalan mengelilingi Ka’bah, perlu adanya kerja sama antar tentara
jihad yang melakukan agar terciptanya kelancaran, hal ini juga menandakan bahwa
manusia juga saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Thawaf memberikan
kita pengertian bahwa meskipun mu’aamalah ma’a Allah itu penting, kita
tidak seharusnya menafikan mu’aamalah ma’annas.
Berganti melakukan
proses selanjutnya yaitu sa’i. Sa’i
adalah lari-lari kecil di antara dua bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali.
Pada saat berada di bagian jalan (tempat) yang tingginya sama dengan Ka’bah,
maka harus melakukan Harwalah (bergegas dengan gerakan yang lebih cepat).
Selanjutnya berjalan seperti biasa ke
kaki bukit marwah. Sa’i juga merupakan sebuah
pencarian. Ia merupakan sebuah gerakan yang memiliki tujuan dan diilustrasikan
dengan bergegas dan berlari-lari. Di Maqam Ibrahim para tentara berperan
sebagai Ibrahim dan Isma’il, begitu memulai sa’i maka berpindah peran seperti
Hajar.
Perjalanan
selanjutnya adalah perjalanan yang melambangkan kembali kepada Allah. Hal ini
dilambangakan dalam tiga hal yang merupakan satu rangkaian. Ketiga hal tersebut
adalah bertolak ke Arafah yang berarti
pengetahuan dan sains, masy’ar yang berarti kesadaran dan pegertian, dan Mina
yang berarti cinta dan keyakinan.
Apabila
sebelumnrya para tentara jihad berjalan selangkah demi selangkah dari Shafa ke
Marwah, maka selanjutnya mereka
diperintahkan agar dengan semangat berjalan tanpa henti menuju Arafat dan
singgah di sana pada hari yang ke 9. Dari Makkah, para tentara pergi ke Arafat
maksudnya ialah untuk kembali kepada Allah (inna lillah). Arafat adalah tempat
dimana Adam dan Hawa bertemu dan berkenalan setelah diturunkan dari surga
karena kesalahan yang mereka buat. Karena dosa itulah Allah memerintahkan untuk
kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Meninggalkan Makah menuju
Arafat melambangkan awal kejadian manusia. Arafat yang berarti pengetahuan
melambangkan manusia dan pengetahuan tercipta dalam waktu yang bersamaan.
Sebagai akibatnya, dari sudut pandang filosofis kita bisa mengatakan bahwa
eksistensi manusia adalah seusia dengan eksistensi pengetahuan. Dan dari sudut
pandang ilmiah bahwa sejarah manusia bermula dengan pengetahuan. Wukuf di
Arafat juga melambangkan bahwa hidup manusia di dunia ini hanya sebentar saja.
Setelah
hari gelap, para tentara harus segerta bertolak meninggalkan Makkah menuju
masy’ar. Di sana mereka mencari kerikil. Hal ini melambangkan para tentara
jihad sedang mengumpulkan senjata untuk memerangi musuh-musuh mereka di medan
pertempuran Mina. Dalam memilih kerikil pun harus memilih yang baik-baik.
Melambangkan bahwa dalam memilih peluru untuk menembak musuh harus menggunakan
peluru yang terbaik. Lemparnya pun harus tepat mengenai sasaran dan tidak boleh
kurang dari yang dianjurkan. Di malam Masy’ar inilah mula-mula kita menyaksikan
pasukan tentara perkasa yang sedang merencanakan penyerangan keesokan harinya.
Di
sepanjang malam tadi bala tentara tauhid ini telah menghabiskan waktu untuk
mengumpulkan senjata mereka. Keesokan harinya pasukan ini bergerak ke arah
barat menuju Mina, negri Allah dan Syetan. Mereka juga bermalam di Mina.
Setelah pagi datang, pelemparan jumrah
dimualai. Pelemparan ini melambangkan
para tentara sedang berperang dan melakukan pembalasan dengan menumpas
tiga penindas di dalam sejarah.
Miqat, thawaf, sa’i, arafah, masy’ar,
dan mina beserta filosofi yang terkandung
didalamnya merupakan unsur dharuriyat dalam rangka menjaga agama Allah (hifdzu
ad-diin).
Allah
memberikan pilihan bagi para tentara jihad dalam pelaksanaan ibadah haji. Para
tentara jihad memiliki hak untuk memilih tata cara ibadah haji, apakah dia akan
melaksanakan haji tamattu’, ifrad, atau qiran. Rasulullah
SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut : Aisyah RA berkata: “Kami
berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Diantara
kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan
ada pula yang berihram untuk haji . Orang yang berihram
untuk umrah ber- tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang
orang yang berihram untuk haji jika ia
mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul
sampai dengan selesai dari nahar”. Ini adalah salah satu bentuk maslahah
hajjiyat yang terkandung dalam ibadah haji.
Pilihan tersebut menggunakan konsep taisir, dimana setiap jama’ah
berhak memilih sesuai dengan kondisi masing-masing. Jika pilihan ini tidak ada,
maka akan menyulitkan para tentara
jihad, sebab tidak semua tentara mempunyai kondisi yang sama.
Ibadah haji juga mengandung unsur mashlahah
tahsiniyat. Berpamitan dengan keluarga, saudara, dan tetangga sangat afdhal
dikerjakan bagi calon tentara jihad fii sabiilillah. Ibadah haji
tersebut tidak salah dan tidak rusak jika tidak berpamitan dengan mereka, namun keindahan, keetisan, dan kesempurnaan ibadah
haji akan semakin terlihat apabila hal itu dilaksanakan. Orang-orang yang
dipamiti tentunya juga akan memberikan apresiasi yang lebih besar sehingga
do’a-do’a lebih deras tercurah dari mereka dengan harapan akan calon jama’ah
haji itu akan menjadi haji yang mabrur. Do’a-do’a keselamatan dan kemenagan
bagi para tentara yang sedang berperang di jalan Allah pun mengalir deras dari
bibir saudara seiman.
Begitu juga dengan membawa oleh-oleh berupa
air zam-zam untuk keluarga dirumah. Oleh-oleh tersebut adalalah buah tangan
yang paling ditunggu-tunggu oleh keluarga di rumah. Kareana air zam-zam
bukanlah air yang biasa di temukan di sumur-sumur biasa. Hanya ada satu mata
air tersuci di dunia ini yang di beberapa hadis disebutkan manfaat-manfaatnya. Sehingga
sangat etis sekali jika tentara jihad pulang dengan membawakan berkah yang
hanya bisa ditemukan di tanah suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)