Dakwah amar ma’ruf nahi munkar itu yang pertama kali ditujukan pada
diri kita sendiri, baru kemudian kepada orang lain. Konsep dakwah seperti ini
merupakan konsep da’wah yang paling ideal daripada konsep yang lain. Bahkan
Rasulullah pun telah mengajari kita untuk berdakwah dengan konsep ibda’
binafsii, artinya memulai dari diri kita sendiri, baru kemudian kepada
keluarga kita, dan kepada masyarakat umum. Bagaimana mungkin kita bisa merubah
orang lain apabila kita tidak bisa merubah diri kita sendiri. Bagaimana mungkin
kita bisa mempengaruhi orang lain apabila
kita tidak bisa mempengaruhi diri kita sendiri, dan bagaimana mungkin
kita bisa menjadi teladan bagi orang lain jika kita tidak bisa menjadi teladan
bagi diri kita sendiri. Maka yang paling penting dalam berdakwah adalah
menjadikan diri kita sebagai agen dakwah terlebih dahulu, untuk selanjutnya
kita menjadi agen perubahan bagi umat, menuju terwujudnya masyarakat islam yang
sebenar-benarnya.
Tanpa disadari, ketika kita sedang berdakwah, sebenarnya kita
sedang berpolitik. Banyak orang mengira bahwa politik itu hanya identik dengan masalah partai,
korupsi, tata negara, dan yang semisalnya. Namun apabila kita cermati secara
lebih filosofis, maka akan kita temukan titik temu antara dakwah dengan
politik. Politik merupakan proses
mempengaruhi seseorang yang didasari tujuan agar seseorang atau sasarannya itu
mau menerima apa yang menjadi misi kita. Setiap orang yang berdakwah sebenarnya
juga sedang mempengaruhi orang lain, khususnya dalam masalah agama. Dia pasti mempunyai misi yang sudah ditentukan. Nah untuk bisa
mempengaruhi obyek dakwah, seorang da’i harus mempunyai kapabilitas yang memadai, terlebih dia harus mengaca
kepada dirinya sendiri, apakah dia sudah layak untuk mengemban misi dakwah
ataukah belum. Meskipun begitu, hal ini tidak bisa dijadikan alas an untuk
tidak ikut andil dalam dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar. Setiap pribadi
telah Rasulullah perintahkan untuk berdakwah, “Ballighuu ‘annii walau
aayah”. Kalau sudah begitu, maka kita wajib, menjadikan diri kita pribadi
yang layak, dan memenuhi syarat untuk berdakwah. Tidak ada alasan untuk tidak
berdakwah karena belum mampu, melainkan kita harus berusaha.
Jika kita lihat tugas pokok setiap muslim, khususnya seorang ulama,
maka akan sangat berbahaya sekali jika
profesi ulama itu dihandle oleh
orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diterangkan secara umum didalam
sebuah hadis :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا هِلاَلُ بْنُ
عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا
ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ» قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin sunan, telah
menceritakan kepada kami Falaih bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami
Hilal bin Ali, dari ‘Atho’ bin yasar,
dari Abu Huroiroh r.a, dia berkata : Rosulullah s.a.w bersabda : “ Apabila
amanat itu diabaikan, maka tunggulah saat kehancurannya “, ditanyakan : bagaimana
diterlantarkan itu wahai Rosulullah ?
Rosulullah menjawab : “ Apabila suatu perkara itu di serahkan kepada
orang yang bukan ahlinya” . (Shahih bukhari, jilid 8, halaman 104 , bab “Raf’ul amanat” )
Di dalam ranah islam, seseorang yang mempunyai profesi seorang da’i
atau ulama harus mempunyai karakter yang baik dan islami. Bisa kita bayangkan
jika profesi seorang da’i yang tugasnya untuk mempengaruhi orang lain itu
dipegang oleh orang yang dzolim. Tentunya da’wah islam yang seharusnya amar
ma’ruf nahi munkar, justru malah
terbalik menjadi amar munkar nahi ma’ruf. Yang akan terjadi nanti, syi’ar islam
yang pada hakikatnya merupakan Rahmatan lil ‘alamin, justru malah keluar
dari koridor jalan yang lurus. Dan produk dari ulama yang
menyimpang tadi justru malah akan menjadi boomerang bagi umat islam sndiri. Kalau
sudah seperti itu, tinggallah menunggu
islam yang akan ditinggalkan oleh peradaban lain.
Jadi, orang islam harus mengawasi dan menjaga Agama islam itu
sendiri secara internal, khususnya dalam bidang dakwah. Artinya, aset orang-orang islam yaitu ulama yang menjadi
ujung tombak keberhasilan islam harus
lebih kita nilai secara objektif, mana yang masih lurus dengan koridor
keislaman, dan mana yang sudah menyimpang dari kaidah-kaidah keislaman. Nah, kembali pada diri kita masing-masing, ada
dua pilihan yang saat ini harus kita garap sebagai seorang muslim yang
benar-benar muslim, kita akan menjadi seorang pendakwah yang akan membimbing
umat menjadi umat islam yang kaffah, atau justru menjadi pendakwah yang yang akan menghancurkan islam itu sendiri.
Yang kita lihat sekarang ini, sebenarnya umat islam sedang
menghadapi dilema yang memang membingungkan. Banyak fakta-fakta ironis yang
menimpa umat islam. Sebagai contoh bisa
kita lihat di stasiun2 televisi nasional yang sudah maju, mejlis ta’lim yang
menjadi program siararanya relatif kurang bermutu. Bagaimana bisa dibilang bermutu jika da’i
yang yang menjadi lakon majlis ta’lim itu sendiri dirasa kurang mumpuni sebagai
seorang da’i. Ia mengisi majlis pengajian dengan gelak tawa, dibumbui
pengajiannya dengan canda yang lebih dominan, namun setelah selesai pengajian
dengan candaan-candaan, langsung berdo’a dengan tangisan yang keras, dan
seperti dibuat-buat. Tetapi anehnya, justru da’i seperti itulah yang lebih laku
di pasaran bisnis media televise. Karena memang pembawaan dari da’i tersebut
lebih menarik perhatian jama’ah, ibu-ibu khusunya. Didukung lagi dengan pihak
manajemen media yang memang mencari da’i yang berkarakteristik seperti itu.
Tentunya mereka mempunyai kepentingan sendiri yang sudah bisa ditebak tanpa
penulis sebutkan secara tersurat. Dan ironisnya, da’i-da’i yang sebenarnya
mempunyai keahlian di bidang dakwah yang mumpuni, berakhlaq santun, halus tutur
katanya, justru jarang atau kurang laku mengisi di siaran TV nasional, mereke
hanya mengisi di stasiunt-stasiun TV lokal yang pemirsanya cenderung sedikit.
Dari sepenggal fakta diatas dapat kita ambil ibrah, bahwa sekarang ini
justru pengaruh dari da’i-da’i yang
kurang sesuai dengan karakteristik dai yang sesugngguhnya, lebih besar daripada
da’i yang memang ahli di bidangnya.
Maka satu alternatif yang bisa menjawab permasalahan ini adalah
kembali kepada diri sendiri, kita sebagai seorang yang beriman harus
bermuhasabah. Harus ada upaya untuk
menjadikan diri kita sendiri bisa menjadi teladan bagi orang lain dan bisa
memberikan pengaruh yang positif bagi orang lain demi memajukan peradaban islam yang
sebenarnya. Kita seharsnya bercermin
kepada umat-umat terdahulu yang banyak Allah ceritakan didalam kitab suci-Nya.
Apakah kita akan memilih menjadi fir’aun yang dakwahnya itu menjadi boomerang
bagi dirinya sendiri, atau kita akan memilih menjadi seperti para Nabi yang
dakwahnya mampu mengubah dunia dan
terkenang sampai saat ini.
Kembali ke masalah dilema, berdakwah memang bukan sesuatu yang
mudah. Berdakwah merupakan suatu
perjuangan yang membutuhkan banyak unsur pembangun, diantaranya, keikhlasan,
kelurusan niat, kemampuan baik dari segi spiritual maupun intelektual, dan
finansial/materi. Aspek finansia ini merupakan hal penting yang harus dipersiapakan.
Bahkan karena sangat urgentnya, didalam al-Qur’an Allah selalu menyebutkan ,
jihad fii sabillillah bi amwaalikum wa anfusikum. Sebagai contohnya adalah
surat al-anfal ayat 72 :
إنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا
وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ
يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ
اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Allah lebih mendahulukan kata amwal daripada anfus. Hal itu karena
materi memang mempunyai peran yang sangat penting dalam berdakwah. Yang menjadi
permasalahan dakwah saat ini, apabila dilihat dari unsure-unsur yang memang
harus dipenuhi untuk berdakwah, tidak semua orang mempunyai itu. Belum lagi
jika kita melihat dakwah dari kelompok lain, ternyata tidak hanya pidato bahasa
inggris saja yang mempunyai rival, dakwah islam pun juga mempunyai rival, kalau
boleh disebutkan secara blak-blakan, saat ini rival dakwah islam yang tidak
bisa diangggap enteng adalah dakwah
nasrani. Mereka juga mengerahkan segala potensi yang mereka miliki untuk
mengembangkan dakwahnya. Dan kita sebagai seorang muslim tidak boleh diam saja
melihat banyak dari kaum muslimin yang sudah berhasil terkena pengaruh dakwah
lain. Sehingga untuk menjawab
permasalahan-permasalahan itu, sudah saatnya sekarang kita memulai dari diri
kita masing-masing untuk menegakkan syi’ar-syi’ar Allah.
Dunia ini adalah ladang untuk berdakwah. Banyak sekali sarana yang
bisa digunakan untuk berdakwah, baik dengan tulisan, siaran radio, televisi, bahkan
internet. Namun yang menjadi pertanyaan, siapakah penghandel media dakwah yang lebih dominan?? kita
kah sebagai pelaksana dakwah amar ma’ruf nahi munkar ? Atau justru orang yang
mendakwahkan kepentingan lainya yang menyimpang dari ajaran islam?
Antara dakwah dan Negara kita
Indonesia memang ada kemiripan. Letak-letak kemiripanya adalah
pihak-pihak asing yang lebih menguasai aset
kita. Indonesia yang mempunyai kekayaan yang melimpah, justru pemegang
sahamnya adalah orang lain. Dari industri pertambangan hingga industri
seluler, sahamnya banyak dikuasai oleh orang-orang asing demi kepentinganya
sendiri. Sama halnya dengan dakwah islam, kebanyakan media atau sarana dakwah
yang sangat berpengaruh, justru malah didominasi oleh kepntingan-kepentingan lain
yang barpengaruh negatif.
Alangkah indahnya jika setiap pribadi muslim mempunyai kesadaran
untuk berdakwah dimulai dari diri sendiri walaupun halang, rintang , dan cobaan
dari lawan dakwah kita sangat besar sekali. Ketika kita telah memustuskan untuk
memulai dakwah, maka kita juga harus menerima segala konsekuensinya. Memang
tidak mudah menjadi pribadi muslim yang kaffah, pribadi yang berbeda dengan pribadi muslim lainya,
pribadi yang lebih mulia. Dan kita juga tidak boleh kaget apabila karena
perbedaan akhlaq kita, kita malah dianggap asing oleh orang lain. Karena itu
memang konsekuensi yang harus kita hadapi, sebagaimana Rosulullah juga telah
memberikan rambu-rambu mengenai hal ini dengan sabdanya :
حَدَّثَنَا
حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ:
أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
حَبِيبٍ، عَنْ سِنَانِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ»
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya,dia
berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab, dia berkata, telah
menceritakan kepada kami ‘Amr bin Haris dan Ibnu Lahi’ah, dari Yazid bin abi
Habib, dari Sinan bin Sa’d, Dari Anas bin Malik, dari Rosulullah s.a.w, beliau
bersabda : “Sesungguhnya pada asalnya islam itu dianggap asing, dan akan
kembali dianggap asing, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing.” (Riwayat
ibnu majah, dalam sunan ibnu majah juz 2 halam 1320, bab “bada’al islami ghoriban”)
Tidak bisa dipungkiri bahwa
dalam mengemban amanat Rosulullah yaitu “Ballighuu ‘annii
walau aayah” memang sangat berat sekali.
Sehingga benar sekali statemen yang menyatakan bahwa seorang pemimpin
itu harus siap menderita, seorang pemimpin harus siap untuk keluar dari zona
nyaman, seorang pemimpin harus rela
mengorbankan harta, jiwa, dan raganya demi menegakkan syi’ar-syi’ar Allah. Namun
Allah itu maha adil, surga telah ia sediakan sebagai tempat kembali bagi
hamba-hambanya yang telah menunjukkan kepada dunia bahwa islam itu adalah
Rahmatan lil ‘Alamiin. Wallahu a’lamu bisshawab..
Postingan yang bagus. Ini sdh bagian dari dakwah.
BalasHapus