Minggu, 21 Oktober 2012

Ibda' Binafsik !!


Dakwah amar ma’ruf nahi munkar itu yang pertama kali ditujukan pada diri kita sendiri, baru kemudian kepada orang lain. Konsep dakwah seperti ini merupakan konsep da’wah yang paling ideal daripada konsep yang lain. Bahkan Rasulullah pun telah mengajari kita untuk berdakwah dengan konsep ibda’ binafsii, artinya memulai dari diri kita sendiri, baru kemudian kepada keluarga kita, dan kepada masyarakat umum. Bagaimana mungkin kita bisa merubah orang lain apabila kita tidak bisa merubah diri kita sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa mempengaruhi orang lain apabila  kita tidak bisa mempengaruhi diri kita sendiri, dan bagaimana mungkin kita bisa menjadi teladan bagi orang lain jika kita tidak bisa menjadi teladan bagi diri kita sendiri. Maka yang paling penting dalam berdakwah adalah menjadikan diri kita sebagai agen dakwah terlebih dahulu, untuk selanjutnya kita menjadi agen perubahan bagi umat, menuju terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Tanpa disadari, ketika kita sedang berdakwah, sebenarnya kita sedang berpolitik. Banyak orang mengira bahwa politik  itu hanya identik dengan masalah partai, korupsi, tata negara, dan yang semisalnya. Namun apabila kita cermati secara lebih filosofis, maka akan kita temukan titik temu antara dakwah dengan politik. Politik  merupakan proses mempengaruhi seseorang yang didasari tujuan agar seseorang atau sasarannya itu mau menerima apa yang menjadi misi kita. Setiap orang yang berdakwah sebenarnya juga sedang mempengaruhi orang lain, khususnya dalam masalah agama. Dia  pasti mempunyai  misi yang sudah ditentukan. Nah untuk bisa mempengaruhi obyek dakwah, seorang da’i harus mempunyai kapabilitas  yang memadai, terlebih dia harus mengaca kepada dirinya sendiri, apakah dia sudah layak untuk mengemban misi dakwah ataukah belum. Meskipun begitu, hal ini tidak bisa dijadikan alas an untuk tidak ikut andil dalam dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar. Setiap pribadi telah Rasulullah perintahkan untuk berdakwah, “Ballighuu ‘annii walau aayah”. Kalau sudah begitu, maka kita wajib, menjadikan diri kita pribadi yang layak, dan memenuhi syarat untuk berdakwah. Tidak ada alasan untuk tidak berdakwah karena belum mampu, melainkan kita harus berusaha.
Jika kita lihat tugas pokok setiap muslim, khususnya seorang ulama, maka akan sangat berbahaya sekali jika  profesi ulama  itu dihandle oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagaimana diterangkan secara umum didalam sebuah hadis :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا هِلاَلُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ» قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin sunan, telah menceritakan kepada kami Falaih bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hilal bin  Ali, dari ‘Atho’ bin yasar, dari Abu Huroiroh r.a, dia berkata : Rosulullah s.a.w bersabda : “ Apabila amanat itu diabaikan, maka tunggulah saat kehancurannya “, ditanyakan : bagaimana diterlantarkan itu wahai Rosulullah ?  Rosulullah menjawab : “ Apabila suatu perkara itu di serahkan kepada orang yang bukan ahlinya” . (Shahih bukhari, jilid  8, halaman 104 , bab “Raf’ul amanat” )
Di dalam ranah islam, seseorang yang mempunyai profesi seorang da’i atau ulama harus mempunyai karakter yang baik dan islami. Bisa kita bayangkan jika profesi seorang da’i yang tugasnya untuk mempengaruhi orang lain itu dipegang oleh orang yang dzolim. Tentunya da’wah islam yang seharusnya amar ma’ruf nahi munkar,  justru malah terbalik menjadi amar munkar nahi ma’ruf. Yang akan terjadi nanti, syi’ar islam yang pada hakikatnya merupakan Rahmatan lil ‘alamin, justru malah keluar dari  koridor  jalan yang lurus. Dan produk dari ulama yang menyimpang tadi justru malah akan menjadi boomerang bagi umat islam sndiri. Kalau sudah seperti itu, tinggallah  menunggu islam yang akan ditinggalkan oleh peradaban lain.
Jadi, orang islam harus mengawasi dan menjaga Agama islam itu sendiri secara internal, khususnya dalam bidang dakwah. Artinya, aset  orang-orang islam yaitu ulama yang menjadi ujung tombak keberhasilan islam harus  lebih kita nilai secara objektif, mana yang masih lurus dengan koridor keislaman, dan mana yang sudah menyimpang dari kaidah-kaidah keislaman.  Nah, kembali pada diri kita masing-masing, ada dua pilihan yang saat ini harus kita garap sebagai seorang muslim yang benar-benar muslim, kita akan menjadi seorang pendakwah yang akan membimbing umat menjadi umat islam yang kaffah, atau justru menjadi pendakwah yang  yang akan menghancurkan islam itu sendiri.
Yang kita lihat sekarang ini, sebenarnya umat islam sedang menghadapi dilema yang memang membingungkan. Banyak fakta-fakta ironis yang menimpa umat islam. Sebagai contoh  bisa kita lihat di stasiun2 televisi nasional yang sudah maju, mejlis ta’lim yang menjadi program siararanya relatif kurang bermutu.  Bagaimana bisa dibilang bermutu jika da’i yang yang menjadi lakon majlis ta’lim itu sendiri dirasa kurang mumpuni sebagai seorang da’i. Ia mengisi majlis pengajian dengan gelak tawa, dibumbui pengajiannya dengan canda yang lebih dominan, namun setelah selesai pengajian dengan candaan-candaan, langsung berdo’a dengan tangisan yang keras, dan seperti dibuat-buat. Tetapi anehnya, justru da’i seperti itulah yang lebih laku di pasaran bisnis media televise. Karena memang pembawaan dari da’i tersebut lebih menarik perhatian jama’ah, ibu-ibu khusunya. Didukung lagi dengan pihak manajemen media yang memang mencari da’i yang berkarakteristik seperti itu. Tentunya mereka mempunyai kepentingan sendiri yang sudah bisa ditebak tanpa penulis sebutkan secara tersurat. Dan ironisnya, da’i-da’i yang sebenarnya mempunyai keahlian di bidang dakwah yang mumpuni, berakhlaq santun, halus tutur katanya, justru jarang atau kurang laku mengisi di siaran TV nasional, mereke hanya mengisi di stasiunt-stasiun TV lokal yang pemirsanya cenderung sedikit. Dari sepenggal fakta diatas dapat kita ambil ibrah, bahwa sekarang ini justru  pengaruh dari da’i-da’i yang kurang sesuai dengan karakteristik dai yang sesugngguhnya, lebih besar daripada da’i yang memang ahli di bidangnya.
Maka satu alternatif yang bisa menjawab permasalahan ini adalah kembali kepada diri sendiri, kita sebagai seorang yang beriman harus bermuhasabah. Harus ada upaya  untuk menjadikan diri kita sendiri bisa menjadi teladan bagi orang lain dan bisa memberikan pengaruh yang positif bagi orang lain demi  memajukan peradaban islam yang sebenarnya.  Kita seharsnya bercermin kepada umat-umat terdahulu yang banyak Allah ceritakan didalam kitab suci-Nya. Apakah kita akan memilih menjadi fir’aun yang dakwahnya itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri, atau kita akan memilih menjadi seperti para Nabi yang dakwahnya mampu mengubah dunia dan  terkenang sampai saat ini.
Kembali ke masalah dilema, berdakwah memang bukan sesuatu yang mudah.  Berdakwah merupakan suatu perjuangan yang membutuhkan banyak unsur pembangun, diantaranya, keikhlasan, kelurusan niat, kemampuan baik dari segi spiritual maupun intelektual, dan finansial/materi. Aspek finansia ini merupakan hal penting yang harus dipersiapakan. Bahkan karena sangat urgentnya, didalam al-Qur’an Allah selalu menyebutkan , jihad fii sabillillah bi amwaalikum wa anfusikum. Sebagai contohnya adalah surat al-anfal ayat 72 :
إنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Allah lebih mendahulukan kata amwal daripada anfus. Hal itu karena materi memang mempunyai peran yang sangat penting dalam berdakwah. Yang menjadi permasalahan dakwah saat ini, apabila dilihat dari unsure-unsur yang memang harus dipenuhi untuk berdakwah, tidak semua orang mempunyai itu. Belum lagi jika kita melihat dakwah dari kelompok lain, ternyata tidak hanya pidato bahasa inggris saja yang mempunyai rival, dakwah islam pun juga mempunyai rival, kalau boleh disebutkan secara blak-blakan, saat ini rival dakwah islam yang tidak bisa diangggap enteng adalah  dakwah nasrani. Mereka juga mengerahkan segala potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan dakwahnya. Dan kita sebagai seorang muslim tidak boleh diam saja melihat banyak dari kaum muslimin yang sudah berhasil terkena pengaruh dakwah lain.  Sehingga untuk menjawab permasalahan-permasalahan itu, sudah saatnya sekarang kita memulai dari diri kita masing-masing untuk menegakkan syi’ar-syi’ar  Allah.
Dunia ini adalah ladang untuk berdakwah. Banyak sekali sarana yang bisa digunakan untuk berdakwah, baik dengan tulisan, siaran radio, televisi, bahkan internet. Namun yang menjadi pertanyaan, siapakah  penghandel media dakwah yang lebih dominan?? kita kah sebagai pelaksana dakwah amar ma’ruf nahi munkar ? Atau justru orang yang mendakwahkan kepentingan lainya yang menyimpang dari ajaran islam? 
Antara dakwah dan Negara kita  Indonesia memang ada kemiripan. Letak-letak kemiripanya adalah pihak-pihak asing yang lebih menguasai aset  kita. Indonesia yang mempunyai kekayaan yang melimpah, justru pemegang sahamnya adalah orang lain. Dari industri pertambangan hingga industri seluler,  sahamnya banyak dikuasai  oleh orang-orang asing demi kepentinganya sendiri. Sama halnya dengan dakwah islam, kebanyakan media atau sarana dakwah yang sangat berpengaruh, justru malah didominasi oleh kepntingan-kepentingan lain yang barpengaruh negatif.
Alangkah indahnya jika setiap pribadi muslim mempunyai kesadaran untuk berdakwah dimulai dari diri sendiri walaupun halang, rintang , dan cobaan dari lawan dakwah kita sangat besar sekali. Ketika kita telah memustuskan untuk memulai dakwah, maka kita juga harus menerima segala konsekuensinya. Memang tidak mudah menjadi pribadi muslim yang kaffah, pribadi  yang berbeda dengan pribadi muslim lainya, pribadi yang lebih mulia. Dan kita juga tidak boleh kaget apabila karena perbedaan akhlaq kita, kita malah dianggap asing oleh orang lain. Karena itu memang konsekuensi yang harus kita hadapi, sebagaimana Rosulullah juga telah memberikan rambu-rambu mengenai hal ini dengan sabdanya :
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، وَابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ سِنَانِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ»
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya,dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Haris dan Ibnu Lahi’ah, dari Yazid bin abi Habib, dari Sinan bin Sa’d, Dari Anas bin Malik, dari Rosulullah s.a.w, beliau bersabda : “Sesungguhnya pada asalnya islam itu dianggap asing, dan akan kembali dianggap asing, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing.” (Riwayat ibnu majah, dalam sunan ibnu majah juz 2 halam 1320, bab “bada’al islami ghoriban”)
Tidak bisa dipungkiri bahwa  dalam  mengemban  amanat Rosulullah yaitu “Ballighuu ‘annii walau aayah” memang sangat berat sekali.  Sehingga benar sekali statemen yang menyatakan bahwa seorang pemimpin itu harus siap menderita, seorang pemimpin harus siap untuk keluar dari zona nyaman, seorang  pemimpin harus rela mengorbankan harta, jiwa, dan raganya demi menegakkan syi’ar-syi’ar Allah. Namun Allah itu maha adil, surga telah ia sediakan sebagai tempat kembali bagi hamba-hambanya yang telah menunjukkan kepada dunia bahwa islam itu adalah Rahmatan lil ‘Alamiin. Wallahu a’lamu bisshawab..
Title: Ibda' Binafsik !!; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

1 komentar:

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)