Selasa, 25 Februari 2014

Muballighat Hijrah ke "WestProg"



            Di setiap bulan Ramadhan, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta (PWM DIY) selalu mengadakan program Mubaligh Hijrah (MH). PWM mengirimkan beberapa mubaligh dan mubalighat muda Muhammadiyah ke berbagai wilayah, khususnya desa-desa pelosok di Yogyakarta. Tentu tujuan utamanya ialah untuk mendakwahkan ajaran islam sehingga terwujud suatu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, seperti istilah “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafūr”. Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), baik putra maupun putri tidak pernah ketinggalan mengirimkan utusannya untuk mengikuti program MH yang diadakan oleh PWM. Bagi mahasiswa PUTM, MH merupakan kegiatan yang wajib untuk diikuti.
Pada bulan Ramadhan tahun 1434 H, saya mendaptkan tugas MH di sebuah desa yang berada di atas gunung bernama Desa Argareja, Kecamatan Kokap,  Kabupaten Kuloprogo. MH di desa ini merupakan pengalaman dakwah yang sangat menarik dan menantang dan tidak akan pernah terlupakan. Sejak dimulainya MH sampai batas waktu penarikan perserta MH, selalu ada fakta-fakta unik yang saya lihat dan saya rasakan.

Kondisi medan dakwah       
            Dalam waktu kurang lebih dua jam dari kota Yogyakarta ke arah barat daya, setelah melewati jalanan yang bernuansa pegunungan dan mengelilingi hutan, akhirnya saya dan partner MH saya sampai di tempat MH. Fakta unik pertama yang saya jumpai ialah ternyata  jalan untuk sampai ke tempat tujuan sangatlah terjal, bukan terjal karena kasar berbatu, justru jalanan itu mulus, tapi naik turun gunung dan banyak belokan tajam, jadi harus pandai-pandai mengatur persnelen sepeda motor. J  Antara satu rumah warga dengan rumah warga yang lain sangat jauh jaraknya, dipisahkan oleh bukit-bukit tanah yang cukup tinggi, dihubungkan oleh jalan-jalan setapak yang licin saat musim hujan. Argareja adalah desa yang hijau, banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitar rumah. Hawa dingin yang saya rasakan sore itu membuat saya membayangkan betapa lebih dinginnya di malam hari, padahal saya tidak membawa selimut yang tebal. Tapi kekhawatiran itu hilang karena tuan rumah sudah menyediakan coverbed setebal 5cm untuk berselimut di malam hari. J
Kondisi Masyarakat Argareja
Kedatangan saya disambut baik oleh tuan rumah dan sebagian warga. Saya bersyukur karena mendapatkan ibu dan bapak MH yang sangat baik, masyarakat pun menerima saya dengan sangat baik. Mereka adalah orang-orang paling ramah yang pernah bermasyarakat dengan saya. Walaupun mayoritas mereka tidak mengenyam pendidikan yang cukup, tetapi kemampuan mereka untuk hidup bermasyarakat sangat baik. Mayoritas warga bekerja sebagai buruh dan petani nira. Hampir semua keluarga di sana mempunyai home industri, yaitu usaha produksi gula jawa. Saya sering membantu ibu untuk membuat gula jawa. Alhasil, saya ketularan manis seperti gula jawa J.
Dalam melaksanakan ibadah, banyak aspek-aspek ibadah yang sudah sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang ada dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), namun banyak juga yang masih bercampur dengan tradisi kejawen. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya untuk membenarkan dan meluruskan cara-cara beribadah mereka agar sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Rutinitas dan moment-moment paling menantang saat MH
            Sebagai perserta MH, saya mempunyai beberapa tugas dakwah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, diantaranya ialah mengajar TPA, mengisi kultum rutin, mengajar tadarus ibu-ibu, mengurus remaja, dan beberapa tugas lainya. Semua itu saya laksanakan dalam rangka menciptakan perubahan dalam masyarakat, dari yang belum baik menjadi baik, dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik sesuai dengan syari’at Islam. Saat itulah saya menjadi orang yang sibuk, bukan hanya sok sibuk. J
            Setiap sore hari setelah shalat ashar, tugas saya adalah mengajar santri-santri TPA al-Jihad. Dari segi usia mereka sangat heterogen, mulai dari adik-adik playgrup yang masih suka nangis, sampai remaja-remaja tingkat SMA yang masih alay. Tenaga pengajar di TPA tersebut sangan terbatas, biasanya TPA itu hanya diampu oleh seorang ibu bernama Parinah. Karena keterbatasan waktu dan tenaga sekaligus biaya, beliau hanya memberikan pelajaran membaca iqra’ dan al-Qur’an saja. Selama bulan Ramadhan itu, saya diamanati untuk menemani para santri belajar sambil menyalurkan sedikit ilmu yang saya miliki. Alhamdulillah saya mendapatkan kepercayaan penuh dari Bu Parinah untuk mengajar TPA. Saya mulai menyususn kurikulum sederhana dengan materi yang sederhana pula untuk jangka waktu satu bulan. Tidak hanya mengajar iqra’ dan al-Qur’an, saya juga memberikan materi tambahan seperti ibadah praktis, hadis-hadis pilihan, public speaking, kesenian, ketrampilan, menggambar dan mewarnai, menyanyi, dan lain sebagainya. Dalam proses pembelajaran, terkadang saya membagi santri dalam dua kelompok, yaitu kelompok kecil dan kelompok besar, karena untuk materi tertentu komposisi pelajaran yang saya berikan disesuaikan dengan usia dan kemampuan santri, tidak mungkin kan anak-anak SMA saya berikan pelajaran mewarnai bareng adik-adik playgrup dan adik-adik playgrup saya latih untuk pidato. Para santri sepertinya merasa senang belajar bersama saya, karena saya memperlakukan mereka seperti adek saya sendiri, bukan sebagai murid.
Pengurus TPA menaruh harapan yang besar kepada saya supaya dalam Ramadhan ini terjadi peningkatan kualitas TPA al-Jihad menjadi lebih maju dan tidak ketinggalan dengan TPA yang lainnya. Nampaknya pengurus TPA kurang puas dengan peserta MH tahun sebelumnya, pengurus tersebut bercerita kepada saya bahwa peserta MH tahun sebelumnya belum berhasil meningkatkan kualitas TPA. Hal ini menjadi motivasi bagi saya untuk menjadikan TPA al-Jihad lebih baik dari sebelumnya. Sebelumnya saya ragu dengan keterbatasan kemampuan saya bisa membuat TPA al-Jihad lebih baik, namun akhirnya saya yakin bahwa setiap ada kemauan dan kesungguhan, pasti ada jalan menuju keberhasilan.
            Selain mengajar TPA, saya juga mempunyai jadwal kultum rutin setelah shalat tarawih dan shalat subuh. Jadwal saya kultum on air via pengeras suara masjid al-Jihad itu cukup padat. Didengarkan oleh semua jama’ah, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang menyaksikan secara live di masjid, maupun yang mendengarkan di rumah. Saya dituntut untuk bisa menyampaikan materi kultum yang sesuai dengan faham Muhammadiyah, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Materi yang saya sampaikan pun harus berbobot dan bisa diterima oleh masyarakat, sehingga bisa menghasilkan perubahan. Kultum saya berjalan lancar, saya sampaikan  secara bilingual, yaitu campuran antara bahasa jawa halus dan bahasa Indonesia. Mungkin karena sering kultum itulah masyarakat memanggil saya dengan sebutan “Mbak Da’i”.
Saya mulai menyampaikan kultum yang bertemakan akhlaq, saya sengaja berhati-hati dalam memilih materi kultum, apalagi yang menyangkut akidah dan ibadah. Aqidah dan tata cara ibadah masyarakat masih bercampur dengan tradisi kejawen. Suatu ketika bapak RT yang notabene satu-satunya orang Muhammadiyah di kampung itu meminta kepada saya untuk menjelaskan perihal tahlilan, yasinan, upaca kematian, dan yang semisalnya di depan para jama’ah. Deg,,,itu merupakan tantangan besar bagi saya, karena masyarakat di desa tersebut semuanya masih khusyuk menjalankan ritual-ritual tersebut. Menurut cerita  dari ibu MH saya, pak RT pernah tidak mengikuti acara-acara tersebut dalam beberapa bulan, karena beliau meyakini bahwa ibadah tersebut tidak ada dasarnya dan merupakan tradisi dari nenek moyang yang beragama hindu. Alhasil beliau dikucilkan oleh masyarakat sedesa. Mungkin karena tidak kuat atas sanksi moral dari masyarakat, dengan berat hati pak RT kembali mengikuti acara-acara tersebut.
Suatu ketika ibu MH saya pernah bertanya kepada saya tentang masalah tersebut, kurang lebih pertanyaannya sebagai berikut : (dalam bahasa jawa logat KP)
“Mbak, kalo yasinan, tahlilan, kenduri, dan mengirim tahlilan kepada orang yang sudah mati itu kan perbuatan yang baik to mbak, kenapa ada orang yang melarang seperti pak RT. Peserta MH tahun kemarin itu juga bilang ndak boleh gitu mbak. Kalo orang yang sudah mati itu tidak boleh di 3hari, 7hari, 100hari, dan 1000hari-kan, mendingan tidak usah dishalatkan sekalian. Iya kan mbak?? Lha wong acara-acara seperti itu juga merupakan moment untuk bersilaturrahmi je, kok mau dihapuskan, kapan lagi para warga bisa ngumpul semuanya kalo bukan pas ada acara-acara seperti itu?? Perbuatan baik kok di larang-larang..”
Ooh, nampaknya ibu MH saya belum tahu tantang faham agama yang saya pegang. Saat itu saya tidak langsung membenarkan atau menyalahkan pertanyaan ibu MH tersebut, saya hanya diam sambil tersenyum hehehe, karena kalau saya jawab apa adanya, saya belum siap diusir dari rumah dan dikembalikan ke Bantul secara tidak terhormat.
            Saya sempat galau karena permintaan dari pak RT tersebut. Namun akhirnya saya sadar bahwa itulah tantangan sebenarnya yang harus saya hadapi. Dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan pak RT di depan jama’ah, saya juga tidak langsung memberikan jawaban bahwa ibadah-ibadah seperti itu tidak ada dasarnya, karena saya melihat kondisi jama’ah yang semuanya masih melaksanakan acara tersebut. Masyarakat tidak akan menerima jika saya langsung manyampaikan apa adanya. Saya juga tidak ingin dikucilkan atau bahkan diusir seperti pak RT, yang ada nanti saya malah tidak bisa melanjutkan dakwah di desa tersebut sampai akhir Ramadhan. Kira-kira seperti itu angan-angan saya waktu itu. Jadi saya menyampaikan jawaban tersebut secara implisit dan bertahap. Setelah mendapatkan pertanyaan itu, saya lebih menfokuskan kultum dengan tema ibadah dan aqidah, mulai dari prinsip-prinsip ibadah, ibadah yang benar, ibadah yang diterima, ibadah yang ditolak, tentang bid’ah, dan materi lain yang akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa acara-acara tadi merupakan ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sebelum saya sempat menyimpulkan materi saya, pak RT yang juga mendapatkan jadwal kultum tiba-tiba menyampaikan kesimpulan dari rangkaian materi saya. Beliau mengatakan dengan tegas bahwa acara-acara seperti itu tidak ada tuntunanya dalam syari’at islam, sehingga ibadah seperti itu tertolak. Saya bersyukur sudah ada yang menyimpulkan, meskipun beliau mengatakan bahwa jawaban itu berasal dari mbak da’i  dari Majlis Tarji PP Muhammadiyah. Sebelumnya memang saya memberikan fatwa Majlis Tarjih mengenai permasalahan tersebut kepada pak RT. Tetapi Alhamdulillah masyarakat sedikit menerima penjelasan tersebut dan saya tidak ikut-ikutan dikucilkan seperti pak RT. Untuk selanjutnya saya menjalani aktivitas saya dengan perasaan yang lega dan keadaan yang baik-baik saja.
            Kegiatan rutin saya setelah kultum ialah membimbing tadarus ibu-ibu. Sebagian besar ibu-ibu sudah bisa membaca al-Qur’an meskipun masih terbata-bata. Namun ada beberapa ibu yang masih sangat kesulitan dalam membaca al-Qur’an, sehingga butuh tenaga, kesabaran, dan mental yang ekstra dalam membimbing ibu-ibu tersebut. Satu hal yang membuat saya tetap istiqamah dalam mengajar ibu-ibu, karena mereka sangat bersemangat untuk bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Mereka rela datang dari rumah yang jauh untuk mengikuti serangkaian kegiatan bulan Ramadhan di masjid besama saya J
Detik-detik terakhir perjuangan    
Tidak terasa perjuangan saya di Kulonprogo sudah hampir usai. Pihak takmir masjid mengadakan acara perpisahan dengan mbak-mbak da’I dengan mengadakan pengajian akbar. Yang menjadi pembicara dalam pengajian tersebut ialah seorang kyai pengasuh pondok pesantren NU di Kulonprogo. Dalam rangkaian acara pengajian juga ada hiburan yang diisi oleh santri TPA yang telah saya latih sebelumnya. Ada juga pembagian hadiah untuk lomba-lomba yang diadakan sebelumnya. Lomba-lomba yang diadakan diantaranya ialah CCA, pidato, kaligrafi, praktek shalat, praktek wudhu, membaca al-Qur’an/ iqra’, dan berbagai lomba lain yang sifatnya menghibur.
            Ketika takmir masjid memberikan sambutan, beliau mengucapkan banyak sekali terimakasih kepada saya, karena telah berusaha berdakwah dengan sebaik mungkin di desa Argareja. Beliau juga mengucapkan terimakasih karena saya telah memberikan kultum yang baik, bermanfaat, dan berbobot. Dan juga telah membantu menjadikan TPA al-Jihad lebih baik dari sebelumnya. Berat rasanya bagi saya untuk meninggalkan desa Argareja dan masyarakatnya yang sudah melekat di hati saya. Apalagi saya sudah menganggap santri-santri TPA seperti adik saya sendiri. Akan tetapi perjuangan belum selesai sampai di sini. Begitu pulang nanti, saya yakin medan perjuangan baru telah menanti saya di depan.
Title: Muballighat Hijrah ke "WestProg"; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

1 komentar:

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)