Golongan
Zaidiyah disandarkan kepada Zaid ibnu Zainal Abidin ibnu Husein ibnu Ali r.a. Pada masa itu Zaid
menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang agar mendapat pengakuan sebagai Imam. Diantara
syarat-syarat tersebut adalah :
•
Keturunan Ali dan istrinya, Fatimah
•
Berpengetahuan luas
•
Zahid
•
Berani
•
Dermawan, dan
Jika
seseorang telah memenuhi kelima syarat diatas, tetapi tidak menuntut haknya
untuk menjadi Imam tersebut, maka ia bukanlah Imam dan boleh mengangkat orang
lain sebagai Imam. Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka Zaid mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khotob, walaupun ketika itu ada Ali bin Abi Thalib. Hal itu dikarenakan
Ali tidak berusaha menuntut dan mempertahankan haknya sebagai khalifah.
Sesuai dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan itu, Zaid sendiri ingin menjadi seorang yang alim dan
berpengetahuan luas. Oleh karena itu ia mulai menuntut ilmu kepada ulama-ulama
pada masa itu. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh ucapan-ucapan para pengaku Syi’ah yang
mengatakan bahwa imam akan memperolaeh wahyu dan pelajaran langsung dari Tuhan.
Itulah sebabnya Ia belajar kepada Washil ibnu ‘Atho’. Dari beliaulah Zaid memperoleh prinsip-prinsip mu’tazilah
dan mulai mencari pendukung serta mulai berdakah.
Tetapi sayangnya Zaid melakukan
kesalahan seperti pendahulunya, yakni mengambil pendukung dari penduduk Kuffah.
Padahal keluarganya dan kerabatnya telah
menasehati dan mengingatkan agar
berhati-hati dengan penduduk Kuffah. Hal ini terbukti setelah Zaid memproklamirkan pemberontakannya,dan
seperti biasanya, penduduk Kuffah mulai menjauhinya.
Pada tahun 122 H, Zaid tewas dalam
pertempuran melawan Yusuf ibnu Umar, Gubernur yang diangkat oleh Khalifah
Hisyam untuk daerah Irak. Putranya yang bernama Yahya ibnu Zaid melarikan diri
dari pertempuran ke Khurasan, kemudian melarikan diri lagi ke Balch. Disana dia menyusun kekuatan dan melakukan
Pemberontakan. Namun ia bernasib sama dengan ayahnya. Ia tewas dan Dibakar pada
tahun 125 H pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibnu Yazid. Sepeninggal Yahya
ibnu Zaid, golongan Zaidiyah kocar-kacir
,hingga akhirnya muncullah Nashir Al-Athrusy di Negri Dailam di Thabaristan.
Saat itu penduduk Negri Dailam belum masuk islam, Kemudian Nashir mengajak
mereka untuk masuk islam atas Madzhab Zaidiyah. Penduduk Dailam menerima ajakan
tersebut sehingga tersiarlah Madzhab Zaidiyah di daerah tersebut.
Madzhab Zaidiyah adalah madzhab
yang terdekat dengan Madzhab Ahlussunnah, sebab mereka mengakui dan membolehkan
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, serta tidak mencaci kedua pemimpin tersebut.
Mereka tidak menganut pendapat seperti yang dianut Golongan Imamiyah bahwa
jabatan imamah khusus bagi putra Ali dari istrinya, Fatimah. Akibat buruk dari sikap
Zaidiyah tersebut adalah melemahnya
golongan mereka, karena para
ghulah tidak senang terhadap sikap semacam itu. Sedangkan dampak baiknya adalah
terhindarnya Madzhab Zaidiyah dari penyelewengan, sehingga tidak banyak
terpengaruh dibandingkan golongan-golongan
Syi’an lainya. Karena para ghulah tersebut menjauhkan diri dari Madzhab
Zaidiyah dan mereka tidak sempat
mengotorinya dengan bermacam-macam pemalsuan.
Syi’ah merupakan tempat berlindung yang paling aman bagi para
musuh-musuh Islam. Dibawah kedok Syi’ah itulah muncul pikiran-pikiran yang
sesat lagi menyesatkan serta bid’ah yang banyak macamnya. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang yang benar-benar cinta dan ikhlas terhadap islam menjauhkan
diri dari Madzhab Syi’ah. Mereka tidak sudi menggabungkan diri kepada suatu
golongan yang mempertuhankan Ali atau yang mengkafirkan sahabat-sahabat
Rosulullah. Jadi Golongan Zaidiyah berdiri di tengah-tengah golongan
orang-orang yang ikhlas terhadap islam dan golongan Syi’ah Hakikiyah.
Diriwayatkan bahwa pemimpin-pemimpin Syi’ah pernah mengadakan
pertemuan dengan Zaid. Dan mereka mengajukan pertanyaan kepadanya : “Apa
pendapatmu tentang Abu Bakar dan Umar?”, Zaid menjawab, “Semoga Allah
mengampuni dan merahmati mereka, belum pernah aku mendengar seorangpun dari
keluargaku yang berlepas diri dari mereka berdua, atau mengatakan sesuatu yang
tidak baik mengenai mereka. Ucapan yang paling keras yang dapat kukatakan
tentang mereka ialah kita lebih berhak dari semua orang untuk mewarisi
kekuasaan Rosulullah saw, dan mereka telah mengambil kekuasaan tersebut untuk
diri mereka dan mengesampingkan kita. Akan tetapi perbuatn mereka yang demikian
itu menurut pendapat kami belumlah mengkafirkan mereka.”
Jawaban Zaid tersebut tidak
menyenangkan hati para ghulah. Mereka lalu meninggalkan Zaid dan menggabungkan
diri kepda golongan-golongan Syi’ah yang lain, sehingga pengikut-pengikut Zaid
makin sedikit jumlahnya. Namun peristiwa itulah yang menyebabkan Madzhab
Zaidiyah terhindar dari penyelewengan. Faktor lain yang menyebabkan lemah dan
terhindarnya Madzhab Zaidiyah dari penyelewengan adalah Zaid bersedia
mengangkat senjata dan memasuki medan tempur. Sedangkan para ghullah sama
sekali tidak suka peperangan. Mereka hanya ingin menyebarkan faham dan pikiran
mereka tanpa bersedia mengorbankan darah mereka di medan tempur. Karena mereka
hanya berpura-pura sebagai orang Syi’ah untuk maksud tertentu.
Ilmu pengetahuan serta keberanian
Zaid telah berjasa dalam menyelamatkan Madzhab Zaidiyah dari penyelewengan. Hal
itu karena Zaid mengajak pengikut-pengikutnya untuk menganut pendapat-pendapat
pribadinya. Ia menjelaskan pendapat-pendapatya itu kepada mereka dan juga
menuliskannya. Dengan demikian, ia tidak memberi peluang dan kesempatan
sedikitpun kepada para pengacau untuk mengacaukan dakwahnya dan mengotori
pendapatnya itu. Namun pada, perkembangannya, Madzhab Zaidiyah kemasukan
fikiran-fikiran yang merusak madzhab
tersebut. Yakni meninggalakn pendapat mereka tentang Imamatul-Mafdhul. Zadiyah
juga ikut mencela para sahabat Rosulullah seperti yang dilakukan golongan
Imamiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)