Minggu, 24 Juni 2012

Jilbab: Antara Simbol dan Substansi


Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural (budaya) ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi  serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Sementara itu kaum prosyari’at (para pendukung syariat Islam) menegaskan arti religiusitasnya, dan meneguhkan arti kewajibannya.


Islam bukanlah sebuah agama yang serba antitradisi, tetapi bukan pula sepenuhnya protradisi. Sikap Islam terhadap tradisi selalu proporsional. Islam merupakan sebuah agama yang selalu promashlahât dan antimafsadât, selalu mendukung yang baik dan benar dan tidak pernah mendukung yang buruk dan salah. Oleh karenanya, al-Quran dan as-Sunnah pun hadir dengan makna sebagai mushaddiq (pembenar) kepada semua yang baik dan benar, muhaimin (tolok-ukur, penguji, filter)  bagi setiap tawaran kebaikan dan kebenaran di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, dan nâsikh (penghapus) bagi setiap yang tidak baik dan tidak benar.
Kali ini kita sedang memperbincangkan sebuah tawaran Islam tentang “jilbab”. Sebuah tawaran “khas” untuk kaum wanita, yang sebenarnya bukan saja untuk kentingan kaum wanita saja dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi mengalir untuk kepentingan universal.
Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, seorang Feminis Afrika, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik. Tetapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.
Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan, dan lain-lain).
Dalil Jilbab itu Budaya
Menurut penelitian Stern, seorang Sosiolog Barat, “Nabi Muhammad tak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen, rekan seprofesinya,  juga berpendapat: “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah Mesopotamia/Mediterania. Al-Zarkasyi, seorang ulama (peminat studi al-Quran), juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat.
Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula al-Quran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.”
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.S al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat Q.S al-Nur: 31, khusus untuk membersihkan nama Aisyah.
Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.S al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tidak tenteram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.
Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Pakaian, di saat itu, adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya.
Di Indonesia, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen keruhanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.
Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).
Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.
Ironisnya, para pelacur – di beberapa tempat tertentu -- mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab. Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama. Generalisasi semacam itu bisa menjebak. Tetapi tidak tepat juga berprasangka buruk terhadap semua pemakai jilbab.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya. Yang oleh karenanya, wawasan etis setiap pemakai jilbab akan menentukan cara pandang orang tentang jilbab.
Fenomena historis ini boleh saja – untuk sementara waktu, di tempat tertentu, oleh sebagian pemikir Islam yang bermazhab sosio-historis – menjadi intrumen legitimasi atas tesis mereka, bahwa jilbab menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Tetapi, teks tentang jilbab tetap saja bisa dipahami pesan universalnya, bahwa “menutup aurat” adalah sesuatu yang lebih utama daripada “membukanya”. Kerena apa pun alasannya, membuka aurat akan lebih memungkinkan memancing fitnah; sementara menutupnya akan dapat membentuk terciptanya fitnah. Itulah indahnya ajaran Islam yang tidak hanya mebidik upaya kuratif, tetapi lebih mengedepankan upaya preventif.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh para penentang (pemakaian) jilbab, dengan mempertontonkan fakta sosio-historis yang diinterpretasikan sebagai sesuatu yang negatif, tentu saja tidak dapat (begitu saja) menghapus (syariat) perintah pemakaian jilbab yang dimaksudkan untuk kemashlahatan bagi semua lapisan sosial. Karena peristiwa negatif (baca: antisyariat) bisa saja terjadi, meskipun semua orang (baca: wanita) sudah berjilbab. Karena niat masing-masing pemakai jilbab tidak sama, dan tentu saja juga dapat dilihat kondiri eksternal yang melingkupinya, cukup kondusif atau tidak.
Dan, tugas kita – umat Islam – sekarang adalah: membuktikan bahwa jilbab  bukan sekadar tradisi, apalagi basa-basi. Isyhadû (proklamasikan secara kolektif, berjamaah) bahwa jilbab adalah sebuah identitas yang menyeluruh, simbol dan sekaligus substansi keislaman kita, di mana pun dan kapan pun.
Title: Jilbab: Antara Simbol dan Substansi; Written by Unknown; Rating: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)