Wacana publik tentang jilbab
seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural (budaya)
ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan
seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan
identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai
sebuah bias kultur patriarkhi serta
tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Sementara
itu kaum prosyari’at (para pendukung syariat Islam) menegaskan arti
religiusitasnya, dan meneguhkan arti kewajibannya.
Islam bukanlah
sebuah agama yang serba antitradisi, tetapi bukan pula sepenuhnya protradisi.
Sikap Islam terhadap tradisi selalu proporsional. Islam merupakan sebuah agama
yang selalu promashlahât dan antimafsadât, selalu mendukung yang
baik dan benar dan tidak pernah mendukung yang buruk dan salah. Oleh karenanya,
al-Quran dan as-Sunnah pun hadir dengan makna sebagai mushaddiq
(pembenar) kepada semua yang baik dan benar, muhaimin (tolok-ukur,
penguji, filter) bagi setiap tawaran
kebaikan dan kebenaran di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, dan nâsikh
(penghapus) bagi setiap yang tidak baik dan tidak benar.
Kali ini kita
sedang memperbincangkan sebuah tawaran Islam tentang “jilbab”. Sebuah tawaran “khas”
untuk kaum wanita, yang sebenarnya bukan saja untuk kentingan kaum wanita saja
dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi mengalir untuk kepentingan universal.
Wacana publik
tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah
ekspresi kultural ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol
kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol
perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat
memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda
keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima
Mernissi, seorang Feminis Afrika, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi
penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik. Tetapi di
sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.
Pada titik ini,
jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan
tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan
normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma
(tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang
gerak, persamaan, dan lain-lain).
Dalil Jilbab itu
Budaya
Menurut
penelitian Stern, seorang Sosiolog Barat, “Nabi Muhammad tak memperkenalkan
kebiasaan berjilbab.” Hansen, rekan seprofesinya, juga berpendapat: “pemingitan dan jilbab
merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa
Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan
1980-an. Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah
Mesopotamia/Mediterania. Al-Zarkasyi, seorang ulama (peminat studi
al-Quran), juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman
Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan,
kecuali satu bola mata untuk melihat.
Pandangan yang
lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula al-Quran
sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki.
Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika
itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan
masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria
dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.”
Kewajiban
berjilbab biasanya didasarkan Q.S al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.
Kedua ayat itu
melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik.
Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat
tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji
terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat
Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat Q.S al-Nur: 31,
khusus untuk membersihkan nama Aisyah.
Sejak peristiwa
itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi,
khususnya dalam Q.S al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan.
Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan
perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu
situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain
mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tidak tenteram, dalam
situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami
kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim.
Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan
seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar
dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk
berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan
preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.
Dalam konteks
kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Pakaian,
di saat itu, adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari
berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi
sosial, dan individu dalam komunitasnya.
Di Indonesia,
jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor,
instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu,
ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah
santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana
yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen keruhanian —salat, pengajian,
berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada
berbagai aktivitas kesehariannya.
Pada akhir
1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai
kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di
sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan
mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol
kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya
(abangan dan non-muslim).
Kalangan
selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di
bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun
ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas.
Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup
keuntungan material dengan penampakan spiritual.
Ironisnya, para
pelacur – di beberapa tempat tertentu -- mereka menyembunyikan identitasnya
dengan memakai jilbab. Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang
sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari
simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi
dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian,
tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti
suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab
dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama. Generalisasi
semacam itu bisa menjebak. Tetapi tidak tepat juga berprasangka buruk terhadap
semua pemakai jilbab.
Pendek kata,
jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita
rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari
suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial,
menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi
simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah
fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan
jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan
simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya. Yang oleh
karenanya, wawasan etis setiap pemakai jilbab akan menentukan cara pandang
orang tentang jilbab.
Fenomena
historis ini boleh saja – untuk sementara waktu, di tempat tertentu, oleh
sebagian pemikir Islam yang bermazhab sosio-historis – menjadi intrumen
legitimasi atas tesis mereka, bahwa jilbab menyiratkan simbol sarat makna dan
kepentingan, tergantung siapa pemakainya dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Tetapi, teks tentang jilbab tetap saja bisa dipahami pesan universalnya, bahwa
“menutup aurat” adalah sesuatu yang lebih utama daripada “membukanya”. Kerena apa
pun alasannya, membuka aurat akan lebih memungkinkan memancing fitnah;
sementara menutupnya akan dapat membentuk terciptanya fitnah. Itulah indahnya
ajaran Islam yang tidak hanya mebidik upaya kuratif, tetapi lebih mengedepankan
upaya preventif.
Alasan-alasan
yang dikemukakan oleh para penentang (pemakaian) jilbab, dengan
mempertontonkan fakta sosio-historis yang diinterpretasikan sebagai sesuatu
yang negatif, tentu saja tidak dapat (begitu saja) menghapus (syariat) perintah
pemakaian jilbab yang dimaksudkan untuk kemashlahatan bagi semua lapisan
sosial. Karena peristiwa negatif (baca: antisyariat) bisa saja terjadi,
meskipun semua orang (baca: wanita) sudah berjilbab. Karena niat masing-masing
pemakai jilbab tidak sama, dan tentu saja juga dapat dilihat kondiri eksternal
yang melingkupinya, cukup kondusif atau tidak.
Dan, tugas
kita – umat Islam – sekarang adalah: membuktikan bahwa jilbab bukan sekadar tradisi, apalagi basa-basi.
Isyhadû (proklamasikan secara kolektif, berjamaah) bahwa jilbab adalah
sebuah identitas yang menyeluruh, simbol dan sekaligus substansi keislaman
kita, di mana pun dan kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)