
Pada bulan Ramadhan tahun 1434 H, saya mendaptkan tugas MH di sebuah
desa yang berada di atas gunung bernama Desa Argareja, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kuloprogo. MH di desa ini merupakan
pengalaman dakwah yang sangat menarik dan menantang dan tidak akan pernah
terlupakan. Sejak dimulainya MH sampai batas waktu penarikan perserta MH,
selalu ada fakta-fakta unik yang saya lihat dan saya rasakan.
Kondisi medan
dakwah
Dalam waktu kurang lebih dua jam
dari kota Yogyakarta ke arah barat daya, setelah melewati jalanan yang
bernuansa pegunungan dan mengelilingi hutan, akhirnya saya dan partner MH saya
sampai di tempat MH. Fakta unik pertama yang saya jumpai ialah ternyata jalan untuk sampai ke tempat tujuan sangatlah
terjal, bukan terjal karena kasar berbatu, justru jalanan itu mulus, tapi naik turun
gunung dan banyak belokan tajam, jadi harus pandai-pandai mengatur persnelen
sepeda motor. J Antara
satu rumah warga dengan rumah warga yang lain sangat jauh jaraknya, dipisahkan
oleh bukit-bukit tanah yang cukup tinggi, dihubungkan oleh jalan-jalan setapak
yang licin saat musim hujan. Argareja adalah desa yang hijau, banyak
pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitar rumah. Hawa dingin yang saya
rasakan sore itu membuat saya membayangkan betapa lebih dinginnya di malam
hari, padahal saya tidak membawa selimut yang tebal. Tapi kekhawatiran itu
hilang karena tuan rumah sudah menyediakan coverbed setebal 5cm untuk
berselimut di malam hari. J
Kondisi
Masyarakat Argareja
Kedatangan saya disambut baik oleh tuan rumah dan sebagian warga. Saya
bersyukur karena mendapatkan ibu dan bapak MH yang sangat baik, masyarakat pun menerima
saya dengan sangat baik. Mereka adalah orang-orang paling ramah yang pernah
bermasyarakat dengan saya. Walaupun mayoritas mereka tidak mengenyam pendidikan
yang cukup, tetapi kemampuan mereka untuk hidup bermasyarakat sangat baik.
Mayoritas warga bekerja sebagai buruh dan petani nira. Hampir semua keluarga di
sana mempunyai home industri, yaitu usaha produksi gula jawa. Saya
sering membantu ibu untuk membuat gula jawa. Alhasil, saya ketularan manis
seperti gula jawa J.
Dalam melaksanakan ibadah, banyak aspek-aspek ibadah yang sudah sesuai
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang ada dalam Himpunan Putusan
Tarjih (HPT), namun banyak juga yang masih bercampur dengan tradisi kejawen.
Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya untuk membenarkan dan
meluruskan cara-cara beribadah mereka agar sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Rutinitas
dan moment-moment paling menantang saat MH
Sebagai perserta MH, saya mempunyai beberapa tugas
dakwah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, diantaranya ialah
mengajar TPA, mengisi kultum rutin, mengajar tadarus ibu-ibu, mengurus remaja,
dan beberapa tugas lainya. Semua itu saya laksanakan dalam rangka menciptakan
perubahan dalam masyarakat, dari yang belum baik menjadi baik, dan dari yang
sudah baik menjadi lebih baik sesuai dengan syari’at Islam. Saat itulah saya
menjadi orang yang sibuk, bukan hanya sok sibuk. J
Setiap sore hari setelah shalat ashar,
tugas saya adalah mengajar santri-santri TPA al-Jihad. Dari segi usia mereka sangat
heterogen, mulai dari adik-adik playgrup yang masih suka nangis, sampai remaja-remaja
tingkat SMA yang masih alay. Tenaga pengajar di TPA tersebut sangan terbatas, biasanya
TPA itu hanya diampu oleh seorang ibu bernama Parinah. Karena keterbatasan
waktu dan tenaga sekaligus biaya, beliau hanya memberikan pelajaran membaca
iqra’ dan al-Qur’an saja. Selama bulan Ramadhan itu, saya diamanati untuk menemani
para santri belajar sambil menyalurkan sedikit ilmu yang saya miliki. Alhamdulillah
saya mendapatkan kepercayaan penuh dari Bu Parinah untuk mengajar TPA. Saya
mulai menyususn kurikulum sederhana dengan materi yang sederhana pula untuk
jangka waktu satu bulan. Tidak hanya mengajar iqra’ dan al-Qur’an, saya juga
memberikan materi tambahan seperti ibadah praktis, hadis-hadis pilihan, public
speaking, kesenian, ketrampilan, menggambar dan mewarnai, menyanyi, dan
lain sebagainya. Dalam proses pembelajaran, terkadang saya membagi santri dalam
dua kelompok, yaitu kelompok kecil dan kelompok besar, karena untuk materi
tertentu komposisi pelajaran yang saya berikan disesuaikan dengan usia dan
kemampuan santri, tidak mungkin kan anak-anak SMA saya berikan pelajaran
mewarnai bareng adik-adik playgrup dan adik-adik playgrup saya latih untuk
pidato. Para santri sepertinya merasa senang belajar bersama saya, karena saya
memperlakukan mereka seperti adek saya sendiri, bukan sebagai murid.
Pengurus TPA menaruh harapan yang besar kepada saya supaya dalam
Ramadhan ini terjadi peningkatan kualitas TPA al-Jihad menjadi lebih maju dan
tidak ketinggalan dengan TPA yang lainnya. Nampaknya pengurus TPA kurang puas
dengan peserta MH tahun sebelumnya, pengurus tersebut bercerita kepada saya
bahwa peserta MH tahun sebelumnya belum berhasil meningkatkan kualitas TPA. Hal
ini menjadi motivasi bagi saya untuk menjadikan TPA al-Jihad lebih baik dari
sebelumnya. Sebelumnya saya ragu dengan keterbatasan kemampuan saya bisa
membuat TPA al-Jihad lebih baik, namun akhirnya saya yakin bahwa setiap ada
kemauan dan kesungguhan, pasti ada jalan menuju keberhasilan.
Selain mengajar TPA, saya juga
mempunyai jadwal kultum rutin setelah shalat tarawih dan shalat subuh. Jadwal
saya kultum on air via pengeras suara masjid al-Jihad itu cukup padat.
Didengarkan oleh semua jama’ah, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang
menyaksikan secara live di masjid, maupun yang mendengarkan di rumah. Saya
dituntut untuk bisa menyampaikan materi kultum yang sesuai dengan faham
Muhammadiyah, yaitu sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Materi yang saya
sampaikan pun harus berbobot dan bisa diterima oleh masyarakat, sehingga bisa
menghasilkan perubahan. Kultum saya berjalan lancar, saya sampaikan secara bilingual, yaitu campuran antara bahasa
jawa halus dan bahasa Indonesia. Mungkin karena sering kultum itulah masyarakat
memanggil saya dengan sebutan “Mbak Da’i”.
Saya mulai menyampaikan kultum yang bertemakan akhlaq, saya sengaja
berhati-hati dalam memilih materi kultum, apalagi yang menyangkut akidah dan
ibadah. Aqidah dan tata cara ibadah masyarakat masih bercampur dengan tradisi
kejawen. Suatu ketika bapak RT yang notabene satu-satunya orang Muhammadiyah di
kampung itu meminta kepada saya untuk menjelaskan perihal tahlilan, yasinan,
upaca kematian, dan yang semisalnya di depan para jama’ah. Deg,,,itu merupakan
tantangan besar bagi saya, karena masyarakat di desa tersebut semuanya masih khusyuk
menjalankan ritual-ritual tersebut. Menurut cerita dari ibu MH saya, pak RT pernah tidak
mengikuti acara-acara tersebut dalam beberapa bulan, karena beliau meyakini
bahwa ibadah tersebut tidak ada dasarnya dan merupakan tradisi dari nenek
moyang yang beragama hindu. Alhasil beliau dikucilkan oleh masyarakat sedesa. Mungkin
karena tidak kuat atas sanksi moral dari masyarakat, dengan berat hati pak RT kembali
mengikuti acara-acara tersebut.
Suatu ketika ibu MH saya pernah bertanya kepada saya tentang masalah
tersebut, kurang lebih pertanyaannya sebagai berikut : (dalam bahasa jawa logat
KP)
“Mbak, kalo
yasinan, tahlilan, kenduri, dan mengirim tahlilan kepada orang yang sudah mati
itu kan perbuatan yang baik to mbak, kenapa ada orang yang melarang seperti pak
RT. Peserta MH tahun kemarin itu juga bilang ndak boleh gitu mbak. Kalo orang
yang sudah mati itu tidak boleh di 3hari, 7hari, 100hari, dan 1000hari-kan,
mendingan tidak usah dishalatkan sekalian. Iya kan mbak?? Lha wong acara-acara
seperti itu juga merupakan moment untuk bersilaturrahmi je, kok mau dihapuskan,
kapan lagi para warga bisa ngumpul semuanya kalo bukan pas ada acara-acara
seperti itu?? Perbuatan baik kok di larang-larang..”
Ooh, nampaknya ibu MH saya belum tahu tantang faham agama yang saya
pegang. Saat itu saya tidak langsung membenarkan atau menyalahkan pertanyaan
ibu MH tersebut, saya hanya diam sambil tersenyum hehehe, karena kalau saya
jawab apa adanya, saya belum siap diusir dari rumah dan dikembalikan ke Bantul
secara tidak terhormat.
Saya sempat galau karena permintaan
dari pak RT tersebut. Namun akhirnya saya sadar bahwa itulah tantangan sebenarnya
yang harus saya hadapi. Dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan pak RT di
depan jama’ah, saya juga tidak langsung memberikan jawaban bahwa ibadah-ibadah
seperti itu tidak ada dasarnya, karena saya melihat kondisi jama’ah yang
semuanya masih melaksanakan acara tersebut. Masyarakat tidak akan menerima jika
saya langsung manyampaikan apa adanya. Saya juga tidak ingin dikucilkan atau
bahkan diusir seperti pak RT, yang ada nanti saya malah tidak bisa melanjutkan
dakwah di desa tersebut sampai akhir Ramadhan. Kira-kira seperti itu
angan-angan saya waktu itu. Jadi saya menyampaikan jawaban tersebut secara
implisit dan bertahap. Setelah mendapatkan pertanyaan itu, saya lebih
menfokuskan kultum dengan tema ibadah dan aqidah, mulai dari prinsip-prinsip
ibadah, ibadah yang benar, ibadah yang diterima, ibadah yang ditolak, tentang
bid’ah, dan materi lain yang akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa
acara-acara tadi merupakan ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Sebelum saya sempat menyimpulkan materi saya, pak RT yang juga
mendapatkan jadwal kultum tiba-tiba menyampaikan kesimpulan dari rangkaian materi
saya. Beliau mengatakan dengan tegas bahwa acara-acara seperti itu tidak ada
tuntunanya dalam syari’at islam, sehingga ibadah seperti itu tertolak. Saya bersyukur
sudah ada yang menyimpulkan, meskipun beliau mengatakan bahwa jawaban itu
berasal dari mbak da’i dari Majlis Tarji
PP Muhammadiyah. Sebelumnya memang saya memberikan fatwa Majlis Tarjih mengenai
permasalahan tersebut kepada pak RT. Tetapi Alhamdulillah masyarakat sedikit
menerima penjelasan tersebut dan saya tidak ikut-ikutan dikucilkan seperti pak
RT. Untuk selanjutnya saya menjalani aktivitas saya dengan perasaan yang lega
dan keadaan yang baik-baik saja.
Kegiatan rutin saya setelah kultum
ialah membimbing tadarus ibu-ibu. Sebagian besar ibu-ibu sudah bisa membaca
al-Qur’an meskipun masih terbata-bata. Namun ada beberapa ibu yang masih sangat
kesulitan dalam membaca al-Qur’an, sehingga butuh tenaga, kesabaran, dan mental
yang ekstra dalam membimbing ibu-ibu tersebut. Satu hal yang membuat saya tetap
istiqamah dalam mengajar ibu-ibu, karena mereka sangat bersemangat untuk bisa
membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. Mereka rela datang dari rumah yang
jauh untuk mengikuti serangkaian kegiatan bulan Ramadhan di masjid besama saya J
Detik-detik
terakhir perjuangan
Tidak terasa perjuangan saya di Kulonprogo sudah hampir usai. Pihak
takmir masjid mengadakan acara perpisahan dengan mbak-mbak da’I dengan
mengadakan pengajian akbar. Yang menjadi pembicara dalam pengajian tersebut
ialah seorang kyai pengasuh pondok pesantren NU di Kulonprogo. Dalam rangkaian
acara pengajian juga ada hiburan yang diisi oleh santri TPA yang telah saya
latih sebelumnya. Ada juga pembagian hadiah untuk lomba-lomba yang diadakan
sebelumnya. Lomba-lomba yang diadakan diantaranya ialah CCA, pidato, kaligrafi,
praktek shalat, praktek wudhu, membaca al-Qur’an/ iqra’, dan berbagai lomba
lain yang sifatnya menghibur.
Ketika takmir masjid memberikan
sambutan, beliau mengucapkan banyak sekali terimakasih kepada saya, karena
telah berusaha berdakwah dengan sebaik mungkin di desa Argareja. Beliau juga
mengucapkan terimakasih karena saya telah memberikan kultum yang baik,
bermanfaat, dan berbobot. Dan juga telah membantu menjadikan TPA al-Jihad lebih
baik dari sebelumnya. Berat rasanya bagi saya untuk meninggalkan desa Argareja
dan masyarakatnya yang sudah melekat di hati saya. Apalagi saya sudah
menganggap santri-santri TPA seperti adik saya sendiri. Akan tetapi perjuangan
belum selesai sampai di sini. Begitu pulang nanti, saya yakin medan perjuangan
baru telah menanti saya di depan.
lha kapan ke sampang?
BalasHapus