1. Sejarah lahirnya
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah
·
Sejarah lahirnya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan
di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912
oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan
sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan
jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau
tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan
pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para
pedagang.
Mula-mula ajaran ini
ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan
dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung
ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung
Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir
kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan
pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada
kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha".
Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam
hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin
Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih
menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
· Sejarah
lahirnya ‘Aisyiyah
Sejak
mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, KH. A
Dahlan sangat memperhatikan pembinaan terhadap kaum wanita. Anak-anak perempuan yang memiliki potensi,
dibina dan dididik oleh Kyai (sebutan KHA Dahlan) untuk menjadi pemimpin, serta
menjadi pengurus dalam organisasi wanita.
Diantara remaja putri yang dididik KH A Dahlan adalah Siti Bariyah, Siti
Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingah, Siti Aisyah, Siti Zaenab,
Siti Daucah, Siti Hayinah dan Siti badilah Zubair.
Pendidikan dan pembinaan untuk kaum wanita yang usianya sudah tua pun
dilakukan oleh KH A Dahlan bersama
Istrinya ( Nyai Walidah).
Kyai dan Nyai Ahmad dahlan kemudian mendirikan kelompok pengajian wanita
yang anggotanya gadis-gadis dan kaum wanita yang sudah usia lanjut. Kelompok
pengajian tersebut diberi nama “Sopo Tresno”, walaupun sudah diberi nama akan
tetapi belum berupa organisasi tetapi hanya suatu gerakan pengajian kaum wanita
saja.
Oleh karena itu, untuk mmemberikan nama yang jelas dan
kongkrit, maka diadakanlah pertemuan para tokoh Muhammadiyah, antara lain KHA
Dahlan, KH Mokhtar, Ki Bagus Hadikusumo, KH Fahrudin, serta Pimpinan
Muhammadiyah lainnya.
Pertama kali dalam rapat tersebut muncul usulan diberi nama “Fatimah”,
tetapi tidak disetujui oleh forum rapat, KH Fahrudin kemudian memberikan usul
agar diberi nama “ ‘Aisyiyah” dan disetujui oleh forum rapat.
Alasannya adalah nama “’Aisyiyah” dipandang sangat tepat agar perjuangan
yang akan dijalankan Organisasi Kaum wanita Muhammadiyah ini dapat meniru perjuangan
‘Aisyah (istri Rasulullah saw) yang senantiasa membantu beliau dalam berdakwah.
Upacara peresmian berdirinya ‘Aisyiyah bersamaan dengan peringatan Isra’
Mi’raj yaitu pada tanggal 27 Rajab 1433 H yang bertepatan dengan 19 Mei 1917 m.
Peringatan Isra’ Mi’raj tersebut merupakan peringatan pertama kali yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah.
‘Aisyiyah pertama kali dipimpin
oleh Siti Bariyah berdasarkan hasil konggres Muhammadiyah. Yang memimpin pada
periode 1917-1920.
2.
Kelebihan KHA Dahlan dibandingkan ulama pada masa itu
Pada masa itu KH A Dahlan merupakan
satu-satunya tokoh/ulama yang memiliki
karakter keberanian dalam menyampaikan Al-Haq dan mampu membuat daya
tarik masyarakat untuk mengikuti fisi dan misi dakwah yang di sampaikannya
sehingga perkembangan dakwah di Indonesia yang disampaikan oleh beliau mampu
merubah tatanan kondisi sosial dan pola
pikir pemahaman terhadap nilai ajaran islam. Ajaran islam
menjadi berkembang pesat yang berpikir akan Islam yang berkemajuan dalam wadah
perjuangannya, yaitu Muhammadiyah.
Beliau juga
seorang tokoh ulama yang sangat peduli terhadap pendidika, dimana beliau
dikelilingi oleh kejumudan berfikir yang saat itu sedang melanda tanah airnya. Sebagai
buktinya, pada saat bangsa Indonesia masih dalam suasana penuh kebodohan dan
ketrbelakangan, beliau sudah mampu menimba ilmu di Negara arab dimana pada saat
itu ilmu pengetahuan sedang mencapai keemasan di Negara tersebut. Beliau juga
berguru kepada tokoh pembaharu Islam dunia seperti Jamaludin Al Afghani, Rasyid
Ridho, Harun Al-Rasyid, dll.
3.
Dasar Ideologi
Muhammadiyah dan apa fungsinya bagi organisasi.
a.
Muqaddimah anggaran dasar Muhammadiyah (1946)
b.
Kepribadian Muhammadiyah (1961)
c.
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) tahun 1969
d.
Masailul khams (1938)
e.
Khittah perjuangan Muhammadiyah:
1.
Langkah Dua Belas (1938)
2.
Khittah ponorogo (1969)
3.
Khittah Ujung Pandang (1971)
4.
Khittah Surabaya (1978)
5.
Khittah Denpasar (2002)
f.
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) tahun 2000
g.
Pernyataan pikiran Muhammadiyah jelang 1 abad (2005)
Sumber: buku panduan materi dasar Baitul Arqam Aisyiyah.
Landasan Ideologi Muhammadiyah memiliki
fungsi sebagai berikut:
1. Memberikan arah dan penjelasan mengenai
sistem paham kehidupan yang dianut berdasarkan agama
2. Mengikat solidaritas guna menghadapi
berbagai tantangan
3. Membentuk karakter warga Muhammadiyah
secara kolektif sesuai dengan kepribadian dan pedoman hidup Islami warga
Muhammadiyah
4. Menyusun strategi dan langkah perjuangan
5. Mengorganisir dan memobilisasi anggota
4. Tokoh pembaharu Islam yang paling berkesan
Jamaludin
Al-Afghani
Alasan: Pada usia 8
tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun
mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu
keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh
cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan metafisika. Al-Afghani segera dikenal sebagai profil
jenius yang penguasaannya terhadap ilmu rpengetahuan bak ensiklopedia. Kemudian
setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan
Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani menjalankan misinya membangkitkan
Islam.
5.
Peran ‘Aisyiyah pada periode awal atau masa sebelum merdeka.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang baru 33 tahun kemudian bernama
Indonesia itu, pada saat itu menderita kebodohan yang muncul dalam
bentuk-bentuk jumud, tbc, kemiskinan, dan mengabaikan peran sosial yang besar
dari perempuan karena didominasi oleh paham patriarkhis. Selaku organisasi
komponen perempuan gerakan Islam Muhammadiyah, Aisyiyah mempunyai peran dan
melakukan usaha untuk memperbaharui/memperbaiki pemahaman terhadap agama Islam
untuk dikembalikan pada ajaran Islam yang murni yang bersumber pada al-Qur’an
dan as-Sunnah. Selain itu ‘Aisyiyah sudah mulai merintis Pendidikan Usia Dini
(PAUD) yang kemudian berkembang menjadi Taman Kanak-kanak bernama TK Bustanul
Athfal, yang kemudian dilanjutkan merintis sekolah-sekolah tingkat yang lebih
atas. Selain itu Aisyyah juga berperan untuk mengintensifkan pembinaan
ideologis sebagai bagian dari revitalisasi gerakan, dinamisasi pemikiran, orientasi aksi gerakan, dan pelangsung gerakan Muhammadiyah sesuai bidang
gerakannya.
Pada masa Nyai Dahlan
a.
Pada tahun 1923
pemberantasan buta huruf arab latin untuk muda dan tua lalu menjadi Aisyiyah Maghribi School (AMS)
b.
Pada tahun 1926 terbit majalah Aisyiyah “ Suara Aisyiyah”
c.
Mendirikan asrama putri bagi anak-anak dari luar jogja.
d.
Mendirikan rumah-rumah untuk untuk orang miskin.
e.
Aktif membantu terselenggaranya sekolah putri.
Pada masa ibu Bariyah
a.
Pada tahun 1919 mendirikan siswo proyo wanito
b.
Pada tahun 1919 mendirikan TK atau Frobel
c.
Pada tahun 1928 memprakarsai Kongres perempuan dan berdirinya
federasi organisasi
wanita.
6. Peran
‘aisyiyah dibidang pendidikan sehingga memperoleh anugerah penghargaan dari
Menteri Pendidikan
Dalam usaha meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan, ‘Aisyiyah
sebagai organisasi sosial lebih meningkatkan perannya di bidang pendidikan.
Yakni dengan mendirikan sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan ‘Aisyiyah
meliputi:
(1)
Taman Kanak-kanak (TK ‘Aisyiyah) didirikan pada tahun 1920 dan merupakan TK
pertama di Indonesia. Pada mulanya TK ‘Aisyiyah bernama Frobel, kemudian
diubah menjadi TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) yang didirikan pada
setiap cabang ‘Aisyiyah. Pada tahun 1995 jumlah TK ABA mencapai 3.962 dengan
rata-rata jumlah muridnya sekitar 30 anak.
(2) Kweekschool Muhammadiyah Perempuan
(Sekolah Guru Perempuan), Sekolah ini didirikan pada tahun 1923 di Yogyakarta
dan kemudian diberi nama Madrasah Muallimat Muhammadiyah. Adapun Sekolah Guru
Pria dinamakan Madrasah Muallimin Muhammadiyah.
(3)
Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). Pendidikan di MDA merupakan wadah pembinaan
pendidikan agama bagi anak-anak yang duduk dibangku sekolah dasar. Selain MDA,
didirikan pula Tsanawiyah dan Aliyah di samping pesantren puteri.
(4)
Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Kesejahteraan Keluarga
Tingkat Atas (SKTA) dan SGTK.
7. Tantangan dakwah yang
dihadapi Aisyiyah pada masa sekarang
a. adanya
kecendrungan budaya populer dan prilaku yang irasional yang menimbulkan krisis
moral dan spiritual dalam kehidupan masyarakat.
b. melemahnya
semangat dari kalangan muda.
c. arus
globalisasi dan liberalisasi yang meluas dalam budaya yang dapat menjadikan
ancaman bagi tegaknya nilai-nilai agama.
d. Kejumudan berfikir dan TBC yang masih
menjadi adat kebiasaan bagi bangsa Indonesia khususnya di desa-desa.
8. Pendapat Saya
a. Nikah Siri
Menurut saya, nikah siri itu cenderung makruh untuk dikerjakan,
karena salah satu syarat nikah adalah tercatat dalam KUA. Orang yang
berpendapat bahwa nikah siri itu sah hukumnya secara syar’I, alasannya adalah karena
nikah siri itu sudah dianggap memenuhi semua syarat Intinya, yaitu adanya calon
suami, dan istri, mahar, ijab Kabul, wali dari pihak istri dan saksi-saksi. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya
karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di
beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang
mengatur perkawinan dan pencatatannya.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum
Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam
situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam
firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا
مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
b. Poligami
Hukumnya
menurut agama boleh yang penting siap lahir batin dan mampu berbuat adil. Dengan
catatan:
pertama, membatasi jumlah istri yang akan dikawininya. (surat An-Nisa ayat
3) dan hadis Nabi Saw ketika ada sahabat r.a mempunyai istri lima, maka beliau
berkata : “Imsik arba’an wa farriq waahidatan”
kedua, diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita –wanita yang masih ada
tali persaudaraan menjadi istrinya. Misalnya kawin dengan kakak atau adik, ibu
dan anaknya. Tujuan pengharaman ini untuk menjaga silaturahim antara
anggota-anggota keluarga.
Ketiga, disyariatkan untuk berlaku adil. (surat An-Nisa ayat 3). untuk dalil
disini dari segi nafkah, adil dalam menyediakan tempat tinggal, pendidikan dan
pembagian waktu untuk para istri tapi tidak dalam masalah cinta atau sayang
karena boleh jadi, suami lebih mencintai istri pertamanya daripada yang
lainnya, hal itu tidak ada masalahnya.
Keempat, tentang persetujuan istri pertama, lebih afdhal kalau izin dulu
kapada istri yang pertama. Tetapi walaupun tanpa izinnya, pernikahannya tetap
sah.
c.
Nikah Mut’ah
Adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga
apabila waktunya telah habis, maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa
adanya talak. Tujuan nikah
mut’ah ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan tidak sesuai dengan tujuan pernikahan sendiri. Dalam Nikah Mut’ah ini wanita yang sangat dirugikan. Maka dari
itu, nikah mut’ah ini diharamkan oleh Islam.
Pada
zaman Rasulullah nikah mut’ah pernah dibolehkan
kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar,
tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan
selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah
itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
عن
رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ
اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ
شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (
أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان(
Artinya:
”Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w.
bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah
mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh
karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera
lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada
wanita yang kalian mut’ah”
Jadi,
nikah mut’ah tidak halal untuk dilakukan. Nikah mut’ah juga akan menmbulkan
mudharat. Mengenai alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah
mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga
para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih
dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah
memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
9. 4 buah
keputusan Majlis Tarjih PP Muhammadiyah disertai dengan dasarnya.
·
Tentang ma’mum harus mengikuti imam, tidak boleh mendahului
Dimaksudkan
dengan imam, ialah imam shalat berjamaah, baik berjamaah di masjid maupun
berjamaah di selain masjid, misalnya di lapangan. Para ma’mum (orang-orang yang
ikut shalat di belakangnya) harus mengikuti imam dalam segala geraknya, dan
tidak boleh mendahuluinya. Dalam suatu hadits Nabi saw. disebutkan sebagai
berikut:
عَنِ
الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَقَطَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ اْلأَيْمَنُ
فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا
فَصَلَّيْنَا وَرَائَهُ قُعُودًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ
اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ
فَاسْجُدُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلَّوْا
قُعُودًا أَجْمَعُونَ (أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة :نمرة :77/311)
Artinya: “Dari
az-Zuhriy, ia berkata: Saya mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi saw. baru
saja jatuh dari kuda, kemudian terseset bagian badannya sebelah kanan. Kemudian
kami masuk ke rumah beliau untuk menengoknya, lalu datanglah waktu shalat,
kemudian beliau shalat sambil duduk bersama kami, kemudian kami pun shalat di
belakang beliau sambil duduk. Setelah selesai shalat, beliau bersabda:
Sesungguhnya imam (shalat) itu diangkat untuk diikutinya; Maka apabila ia
bertakbir maka bertakbirlah kamu, dan apabila ia bersujud maka bersujudlah
kamu, dan apabila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepalamu, dan apabila ia
mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’ (Allah mendengarkan orang yang
memuji-Nya), maka ucapkanlah: ‘Rabbanaa wa lakal-hamd’ (Ya Tuhanku, hanya
bagi-Mu segala pujian), dan apabila ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kamu
sekalian sambil duduk.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab as-Shalah, No.
77/411)
Dalam hadits lainnya dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُعَلِّمُنَا، يَقُولُ لاَ تُبَادِرُوا اْلإِمَامَ إِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
وَإِذَا قَالَ: وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا: آمِينَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا
وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ
الْحَمْدُ (أخرجه مسلم: ج: 1: كتاب الصلاة:
نمرة: 87/415)
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. memberikan pelajaran kepada kita,
beliau bersabda: Janganlah kamu mendahului imam; apabila imam bertakbir maka
bertakbirlah kamu, dan apabila imam mengucapkan ‘wa ladl-dlaalliin’, maka
ucapkanlah: ‘Aamiin’, dan apabila imam ruku’ maka ruku’lah kamu, dan apabila
imam mengucapkan: ‘sami’allaahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Allaahumma
Rabbanaa lakal-hamd’.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, Kitab ash-Shalah, No.
87/415)
Hadits pertama
menjelaskan bahwa imam shalat wajib diikuti oleh ma’mum dalam segala geraknya,
tidak boleh menyalahinya. Jika imam shalat sambil duduk, maka ma’mum harus
shalat sambil duduk, dan seterusnya.
Hadits kedua
menjelaskan bahwa ma’mum tidak boleh mendahului imam dalam segala geraknya;
dalam ruku’nya, dalam takbirnya, dan seterusnya. Barangsiapa mendahuluinya maka
ia berdosa, dan sebagian ulama berpendapat bahwa mendahului imam dalam gerakan
apa saja, hukumnya adalah haram, sebab larangan tersebut menunjukkan kepada
haram.
·
Tentang merokok
Pada asalnya hukum merokok itu adalah mubah, boleh dilakukan karena tidak
ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang melarangnya. Namun sebahagian ulama memandangnya sebagai perbuatan makruh.
Mereka beralasan bahwa merokok itu bukan saja merusak kesehatan diri sendiri,
tetapi juga merusak kesehatan orang lain yang ikut menghisap asap rokoknya
(perokok pasif). Sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan bagi manusia harus
dijauhi, sesuai dengan makna yang terkandung dalam firman Allah Swt:
... وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
... [الأعراف (7): 157].
Artinya: “… dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” [QS. al-A‘raf (7): 157].
Menurut Ibnul
Qayyim, ‘ath-Thayyibaat’ berarti segala sesuatu yang bermanfaat bagi jasmani,
rohani, akal dan pikiran, sedang ‘al-Khabaaits’ ialah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan mafsadat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran.
Berdasar pada
penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
berpendapat bahwa hukum merokok adalah mubah, sekalipun demikian menjauhinya
adalah lebih baik daripada melakukannya.
·
Tentang Tahlilan
Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada
Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar
memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ [البقرة (2):152]
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat
pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]
Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33): 41,
QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.
Perintah
berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam
hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat Abu Hurairah:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ
لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ
مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ
حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ
عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي
يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ.
(رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu
lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari
sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan
memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan
dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya
menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak
ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa
yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu.
Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan
Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus
kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.”
[Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]
Disebutkan pula
pada hadits-hadits lain seperti hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn
Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab
al-Masajid fi al-Buyut dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah,
dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil,
No. 32/2695.
Ayat-ayat
al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak
membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka
yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja
tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus
menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan
keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik.
Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil
ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah
bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal
shalih sebanyak-banyaknya.
Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan
dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan
sebagainya.
Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah
sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu
yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan
dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara
semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam
kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat
mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus
bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian
sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada
waktu Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh
kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan
datang ke rumah keluarga Ja'far untuk makan dan minum.
Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian
seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan
upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui
siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah,
Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam'i al-Mauta fi Qabr ..., Juz 9, hlm. 22),
mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari 'Utsman
ibn 'Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab
al-Istighfar 'inda al-Qabr lil-Mayyit ..., Juz 9, hlm. 41) dan dibolehkan
ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan
Ma Kana min an-Nahyi ..., Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1.
Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus
diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah
dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara
yang ma'ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah
pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan
praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
2.
Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut
hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada
upacara/hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti
rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga
perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut,
insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja
(tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di
mana kita tinggal.
3.
Mengenai makan dan minum pada perjamuan
tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT,
namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak
untuk ditinggalkan.
Hadits-hadits
yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdoa baik ketika
melaksanakan haji atau lainnya, di antaranya:
عَنْ
سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا
كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى
أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ
يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ
وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ
يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي
وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ [رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198]
Artinya: “Diceritakan dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin
‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil
bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar
dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat
kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar
jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama
dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya,
lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak
berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat
Rasulullah mengerjakannya’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab
mengangkat kedua tangan, I:198]
Hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua
tangannya ketika berdoa jumlahnya cukup banyak seperti dalam kitab Shahih
al-Bukhari, Kitab al-Jum'ah, Bab Raf'ul-Yadain, Shahih al-Bukhari, kitab
al-Hajj, Jilid 1 hal. 198, kitab Shahih Muslim Kitab shalat al-Istisqa, kitab
Manasik al-Hajj dan kitab Sunan at-Tirmidzi.
Hadits-hadits
yang menerangkan bahwa Nabi berdoa tidak mengangkat tangan, di antaranya;
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى
عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ
إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ [رواه مسلم، كتاب
صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895]
Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna,
diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari
Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya
sedikitpun ketia berdoa, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga
terlihat putihnya kedua ketiaknya.” [Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat
al-Istisqa,No 5/895]
Dari kedua
hadits tersebut, di kalangan ulama ada dua pendapat, pertama - Jumhur Ulama - menyatakan bahwa Nabi saw
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, dan Kedua, - sebagian
ulama lagi - menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya,
kecuali hanya pada waktu istisqa saja. Dan kedua dalil tersebut tampak
adanya ta’arud (pertentangan). Karena pada dalil-dalil tersebut tampak
adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode
al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil
yang tampak bertentangan.
Al-Qasthalaniy ketika mensyarah
hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, mengatakan
bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits-hadits
tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi
saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdoa, kecuali
pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang ditiadakan
ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam
mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya. Artinya, bahwa
Nabi saw ketika berdoa juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika
berdoa dalam istisqa’. (al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).
As-Shan’aniy, dalam kitabnya
Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang mengangkat tangan,
menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mustahabb,
dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdoa
jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang
menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika
berdoa, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang
dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i (melebihkan dalam
mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi,
dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdoa dalam istisqa’.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah
bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat
ditaufiqkan (dikompromikan).
Kesimpulan :
Mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah sunnah atau mustahabb,
dan tidak perlu mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdoa istisqa’.
Adapun maksud dari hadits Anas yang menunjukkan bahwa Nabi saw ketika berdoa
tidak mengangkat kedua tanganya kecuali dalam shalat istisqa’ adalah
tidak berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa
dalam berdoa kita dianjurkan untuk mengangkat tangan yang tidak
berlebih-lebihan.
10. Hal yang harus dilakukan ‘Aisyiyah sebagai
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan
dalam menghadapi dekandensi moral
‘Aisyiyah harus ikut andil dalam
mempertahankan kemurnian agama islam. Melihat pada kenyataan saat ini bahwa
paham-paham sesat sedang melanda umat islam. ‘Aisyiyah semestinya berperan
aktif membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai akhlaq, moral dengan
menyelenggarakan beberapa kegiatan di berbagai kalangan masyarakat yang
bersifat kontinyu dan dinamis. Dimulai dari warga ‘Aisyiyah sendiri, harus
menjadi teladan bagi umat. Dari perilaku, sikap, sifat, akhlaq, dan moral
seharusnya sesuai dengan tujuan Muhammadiyah dengan jalan Amar ma’ruf nahi
munkar. Sehingga diharapkan nantinya masyarakat akan merespon dengan baik dan meneladani
‘Aisyiyah beserta berperilaku sesuai dengan apa yang telah diprogramkan oleh ‘Aisyiyah.
Dengan
mengadakan seminar-seminar, halaqah, dan pengajian-pengajian yang membawa pesan
moral yang baik, diharapakan ‘Aisyah lebih berpartisipasi dalam menghadapi
dekandensi moral. Tentunya bukan hanya teori saja yang digembor-gemborkan, akan
tetapi praktek di masyarakatlah yang paling penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah membaca..dimohon masukannya ya.. :)